PENCARIAN

Rabu, 29 Juni 2011

TA'WIL

BAB I

A. LATAR BELAKANG
Kajian tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.
Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”. Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh. Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Ta’wil
2. Apa saja syarat-syarat Ta’wil
3. Bagaimana bentuk-bentuk Ta’wil
4. Apa saja macam-macam Ta’wil
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Ta’wil
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Ta’wil
3. Untuk memahami bentuk-bentuk Ta’wil
4. Untuk mengetahui macam-macam Ta’wil






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’wil
Dalam membicarakan lafaz yang jelas artinya maupun lafaz yang tidak jelas artinya sering muncul kata “Ta’wil”. Karenanya perlu dijelaskan arti dan maksud Ta’wil itu.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “ta’wil”, dalam 17 tempat. Bila dianalisis antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan maksudnya. Dan keseluruhan mungkin arti ta’wil, dapat di kelompokkan menjadi 2 yaitu
1. Ari yang mengarah kepada arti lughawi (bahasa) yang murni,
Ta’wil adalah :

2. Arti yang mengarah kepada arti istilah syar’i adalah :

Merkipun terdapat beberapa definisi atau istilah hokum terhadap ta’wil, namun meksud saling mendekatkan dan saling mengisi, diantara beberapa definisi ta’wil adalah :
1. Abd. Wahab Khalaf memnberi definisi:

Memalingkan lafaz dari arti zhabirnya berdasarkan adanya dalil.
2. Devinisi menurut Ibn Jauzi :


Mengalihkan ucapan dari maudhu’-nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada dalil yang kalu tidak demikian, maka zhabir lafaz tidak akan ditingkatkan.
3. Ibnu Atsir memberikan definisi :

Mengalihkan zhabir lafaz dari pemakaian asalnya kepada suatu yang diperlukan oleh dalil.
4. Definisi yang dirumuskan Abu Zahrah :

Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Beberapa definisi diatas yang berbeda menurut lainnya, dapat dirangkum dalam suatu rumusan tentang definisi ta’wil., yaitu : “memalingkan lafaz dari arti yang kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.”
Dari rumusan yang sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan cirri dari ta’wil, yaitu :
a. Lafaz itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya.
b. Arti yang dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oelh arti lahir lafaz itu:
c. Peralihan dari arti lahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.
Dalam hubungan dengan lafaz tafsir ( ), ada ulama yang berpendapat bahwa kedua lafaz itu sama artinya dari segi tinjauan pangalihan. Tetapi sebenarnya diantara keduannya terdapat perbedaan. Menurut pengertian kalangan Ulama, tafsir itu adalah menyingkap makna Al-Quran dan menjelaskan makna yang terkandung didalamnya.
Al-Rahib mencoba membedakan antara ta’wil dengan tafsir. Bahwa tafsir lebih umum dari ta’wil dan lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dalam arti mufradat lafaz., sedangkan ta’wil lebih banyak penggunaannya dalam makna dan banyak terdapat dalam kitab-kitab ilahiyat.
Pada dasarnya setiap lafaz harus dipahami menurut lainnya. Tetapi dalam keadaan tertent, tidak mungkin memahami suatu lafaz menurut lahirnya:oleh karena itu diberri kemungkinan untuk menggunakan ta’wil bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk ta’wil.
B. Syarat-syarat Ta’wil.
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir dan lafaz hash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti :
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dahlil itu.
Contohnya: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang ditolak sama sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya.
Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil yang ada.
C. Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil. Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua betuk ta’wil, yaitu:
a. Ta’wil maqbul ( ) atau ta’wil yang diterima,yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan diatas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaanya oleh ulama Ushul.
b. Ta’wil ghair al-maqbul ( ) atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dan segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna zhahimnya, ta’wil di bagi kepada dua bentuk :
a. Ta’wil qarib ( ), yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahir-nya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana data dipahami maksudnya.
Ta’wil qarib ini termasuk kedalam bentuk ta’wil yang maqbul seperti di uraikan seperti diatas.
b. Ta’wil ba’id ( ), yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
D. Macam-macam Ta’wil
Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wil :
1. Ta’wil Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.
Umpamanya men-ta’wil-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48): 60:

Tangan Allah berada diatas tangan mereka.
Atau mengartikan “tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah (5):64:

Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya.
Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz masyhur”.
2. Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wil kan surat al-Baqarah (2): 240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234, seperti dalam contoh diatas.
Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang-kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wil, atau ta’wil itu dianggap salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wil; atau ada dorongan untuk men-ta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wil itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i.
Bila diperhatikan persyaratan bagi orang yang boleh berfatwa sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa orang yang bukan mujtahid dan bukan pula muqallid yang bermazhab tidak boleh berfatwa.
Adapun seorang ahlim yang mempunyai keahlian untuk mengetahui suatu pendapat imam mazhab dan mampu membandingkan serta men-tarjih-kan antara beberapa pendapat imam-imam mujahid yang ada, meskipun belum mencapai derajat mujathid, maka boleh ia memfatwakan pendapat salah satu imam madzhab yang ada. Namun dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya itu ia harus memerhatikan sebagai berikut :
a. Dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya ia harus ikhlas dan ber-i’tiqad baik untuk mewujudkan kemaslahatan dan sebanyak mungkin menguntungkan semua pihak serta tidak merugikan siapa pun.
b. Ia memilih pendapat yang menghendaki kehati-hatian dalam beramal, tidak menyulitkan orang dalam beragama, juga tidak mempermudah agama.
c. Ia memilih pendapat yang menurut keyakinannya benar dan kuat dalilnya.


DAFTAR PUSTAKA

 Abu Ya’la, Muhammad ibn al-Husayn al-farra’, AL-Uddah fi Ushul al-fiqh, Riyadh, 1990.
 abu Zahra, Muhammad, Ushul al-fiqh, dar al-fikr al- Araby, Kairo, 1957

6 komentar:

  1. thanks for informatian, barokallohu fik...

    BalasHapus
  2. thanks..syukran,, makalah ny dah membantu ane ya AKH.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sami, itu sdh tugas manusia untuk saling membantu.

      Hapus
  3. Izinkan saya mengambil faedahnya. Syukran moga2 Allah memberkati tuan.

    BalasHapus
  4. Izinkan saya mengambil faedahnya. Syukran moga2 Allah memberkati tuan.

    BalasHapus