PENCARIAN

Selasa, 28 Juni 2011

Ta'arudu al-'Adillah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Ta’arudh al-Adilah (dalil-dalil yang bertentangan) sering kali membuat kita bingung dalam menetapkan suatu hukum, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.
Mengambil suatu ketetapan hukum yang berdasarkan dalil Al-Qur’an ataupun hadist yang bertentangan, maka ada beberapa cara, yaitu; Al-jam’u wa al-Taufiq, Nasakh-Mansukh dan Tarjih.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena factor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
Maka dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang dalil-dalil yang bertentangan dan cara penyelesaiannya berikut contoh-contohnya.

B. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan didalam makalah kami mudah difahami, maka kami membatasi pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
B. Cara Penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1) Menurut Hanafiyah
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adillah
C. Tujuan Pembahasan
A. Ingin menjelaskan pengertian dari Ta’arud Al-Adillah
B. Untuk menjelaskan cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
a. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
b. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Ingin menunjukan beberapa contoh Ta’arud Al-Adillah

BAB II
PEMBAHASAN
الأدلة التعارض
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil. Persoalan ta’arud al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fikih, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainya pada derajat yang sama.
Sedangkan kalau Menurut istilah, banyak sekali para ulama’-ulama’ yang mendefinisikan tentang arti taarud al-adilah sendiri. Diantaranya yang dikemukakan oleh :
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Pengertian satu derajat / derajad yang sama adalah antara ayat dengan ayat, atau antara hadis dengan hadis.
Contoh pertentangan dalam ayat al-qur’an adalah ketentuan tentang iddah wanita karena kematian suami.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234, menyatakan bahwa iddah wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, ayat ini tidak membedakan wanita itu hamil atau tidak. Secara umum, Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suaminya maka iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat at-thalaq ayat 1, Allah menyatakan bahwa masa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talaq) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.
Contoh lain dari hadis Rasulullah SAW, adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah dinyatakan bahwa ( النسيئة فى إلا ربا لا) “la riba illa fin nasi’ati.” HR. Bukhori wa Muslim. yang artinya “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
Hadis ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi’ah, yaitu yang berawal dari pinjaman uang. Dengan demikian, riba al-fad (riba yang muncul akibat dari transaksi, baik jual beli maupun transaksi lainya) tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadis lain Rasulullah bersabda :
(بمثل مثلا إلا بالبر البر تبيع لا) HR. Al-Bukhori, Muslim dan Ahmad ibn Hambal. yang artinya “jangan kamu menjual gadum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama”
Hadis ini mengandung hukum bahwa riba al-fad diharamkan. Kedua hadis tersebut mengandung pertentangan hukum islam dalam masalah riba al-fad. Hadis pertama membolehkanya sedangkan hadis yang kedua mengharamkanya.
Menurut wahbah al-zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi bila Allah atau RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut imam Al-Syatibi pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang Qath’i (pasti benar) dan dalil yang Zhanni (relative benar) selama dua dalil itu sederajat. Apabila pertentangan antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil Qath’i dengan dalil yang Zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang Qath’i, atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al-Qur’an dengan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Qur’an, karena dari segi periwayatanya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadis Ahad bersifat Zhanni.
Di samping itu menurut Wahbah Al-Zuhaili, pertentangan tidak mungkin muncul dari daliil yang bersifat Fi;liyah (perbuatan), misalnya dalil yang menunjukan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada dalil yang menyatakan bahwa pada hari itu juga Rasul tidak berpuasa.
B. Macam-Macam Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
Apabila seseorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha untuk menyelesaikan –nya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.
1) Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :
a. Nasakh
Nasakh ( النسخ ) adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan dengan adanya daliil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua daliil tersebut. Apabila dalam pelacakanya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih
Tarjih ( الترجيح ) adalah menguatkan salah satu dalil diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa turunya atau datangnya tidak diketahui maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap satu dalil tersebut dengan mengemukakan alas an-alasan lain yang membuat dalil tersebut kuat. Tarjih bisa dilakukan dari tiga sisi yaitu :
 Dari segi penunjuk kandungan lafal suati nash. Contohnya mengu-atkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-nasakh-kan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti tapi masih bisa di-nasakh-kan).
 Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh/mubah.
 Dari sisi keadilan periwayat suatu hadis.
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” misalnya :
والدم الميتة عليكم حرمت (QS. al-Maidah ayat 3) dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
مسفوحا دما أو ميتة يكون أن إلا…. (QS. Al-An’am ayat 145)
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain ( الدليلين تساقط ) yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Dalam artian seorang mujtahid harus merujuk kepada dalil yang derajatnya dibawah dalil yang bertentangan tersebut.
Seorang mujtahid menurut ulama Hanafiyah, hanya diperbolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang kontradiksi, menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya walaupun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Apabila hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
2. Apabila hukum yang kontradiksi itu suatu yang terbilang, seperti sabda rasulullah SAW “la sholata lijaril masjid illa fil masjid” artinya “tidak (dinamakan) sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid” HR Abu Dawud dan Ahmad ibn Hambal. Maka cara penyelesaianya adalah ;
Dalam hadis tersebut ada kata “la” yang dalam ushul fikih mempunyai pengertian banyak, yaitu berarti “tidak sah” bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa juga berarti “tidak utama”. Oleh karena itu mujtahid boleh memilih satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
b. Tarjih
Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh menggunakan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara Tarjih bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad (para penurut hadis), bisa juga melalui penarjihan dari sisi matan (lafal hadis), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c. Nasakh
Apabila dengan cara tarjih, kedua dalil tersebut masih belum bisa diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat mengetahui dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan. Seperti sabda Rasulullah SAW “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Apabila cara ketiga masih belum bisa ditempuh, maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut.
Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi harus secara berurutan.
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adilah
- Pada kasus iddah
          
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (QS, Al-Baqarah : 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil maupun tidak. Namun kalau dilihat dalam firman Allah SWT pada surat lain :
       ............. 
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Al-Thalaq : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai wanita tersebut melahirkan.
Menurut Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, Solusinya adalah ( والتوفيق الجمع ). Yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
- Pada kasus darah
    .................. 
dalam ayat ini (QS. al-Maidah : 3) diterangkan bahwa darah itu hukumnya haram, dan di ayat ini darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
      •• ............................ 
Didalam ayat ini (QS. Al-An’am :145) mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada Bab II, sekiranya dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi Ta’arudh Al’adillah Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan adilah adalah jamak dari dalil yang berarti alasan, argument dan dalil. Sedangkan secara terminologi adalah;
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Adapuan cara penyelesaian Ta’audh Al-adillah. Menurut Hanafiyah :
a) Nasakh.
b) Tarjih.
c) Al-jam’u wa a’Taufiq
d) Tasaqut Al-Dalilain
Sedangkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyah :
a) Al-jam’u wa a’Taufiq
b) Nasakh.
c) Tarjih.
d) Tasaqut Al-Dalilain
B. KRITIK & SARAN
Apabila ada suatu dalil yang bertentangan kita tidak usah bingung apalagi meninggalkanya, setiap dalil yang bertentangan pasti ada jalan penyelesaiannya seperti yang telah dijelaskan diatas. Terimakasih…

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fikih II, Bandung : Pustaka Setia, 1998
Dr. H. Sidi Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2003. Cet ke-3.
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Imam Syafi’i. Ar-Risalah. Jakarta : Pustaka Firdaus.

1 komentar: