PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Didalam pembahasan usul figh merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqih, banyak topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu usul figh seperti: amar,nahi,’am,khos ,mujmal ,mutlak ,muqoyyad dan lain sebagainya .
Didalam pembahasan tentang muqoyyad dan mutlak merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karna seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqih dan dia tidak mengerti akan perbedaan dari muqoyyad dan mutlak akan terjadi kesalahfahaman dalam mengartikan sebuah ayat atau kitab lainya.
Hukum lafad mutlak dan muqoyyad merupakan pembahasan yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi ”seseorang yang membunuh orang mu’min secara tidak disengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya ” di hadis ini banyak seseorang yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makana dari muqoyyad dan mutlak .sehingga mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir atau yang islam ,sebenarnya pada keterangan tersebut dibatasi artinya hamba sahaya yang muslim.
Dan di dalam pembahasan usul figh yang banyak terjadi kesalahfahaman itu terletak pada pembahasan muqoyyad dan mutlak .memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup mamahami secara dohir saja akan tetapi harus mengetahui tentang muqoyyad dan mutlak atau memahami tafsiran ayat tersebut.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius maka penulis akan menuangkan seberkas makalah yang menerangkan tentang” muqoyyad dan mutlak” sehingga bisa dibuat pedoman oleh seluruh umat islam khususnya orang yang mempelajari ilmu fiqih.agar terjadi kesalah fahaman dalam mengartikan suatu ayat alqur’an atau kitab yang lainya.
2.RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Mutlak dan Muqoyyad
2. Pola hubungan antara Mutlak dan Muqoyyad
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MUTLAK DAN MUQOYYAD
Dalam memberikan devinisi kepada Mutlak dan Muqoyyad terdapat rumusan yang berbeda ,namun saling berdekatan.
1. Muhammad al-Khudhari Beik memberikan definisi:
Mutlak adalah lafad yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencangkup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdi.
2. Al-Amidi memberikan definisi:
Mutlak adalah lafad yang memberi petunjuk kepada madlul{ yang diberi petunjuk} yang mencangkup dalam jenisnya.
3. Abu Zahrah memberikan definisi:
Mutlak adalah lafad yang memberikan petunjuk terhadap maudhu’nya {sasaran penggunaan lafad} tanpa memandang kepada satu,banyak atau sifatnya tetapi memberikan petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya .
Dengan membandingkan definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa Mutlak adalah lafad yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamya.Disinilah letak perbedaan lafad Mutlak dan lafad ’Am,Meskipun terdapat istilah meliputi afradnya.
Dari segi cakupanya ,juga dapat dikatakan bahwa mutlak itu sama dengan nakirah yang disertai dengan tanda-tanda keumuman suatu lafad, termasuk jama’ nakirah yang belum diberi qoyyid { ikatan }.contohnya dalam firman allah yang berbunyi:
والذين يظهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا
Artinya: seseorang yang mendihar istri-istri mereka kemudian dia hendak menarik kembali apa yang diucapkanya maka wajib baginya memerdekakan seorang budak sebelum suaminya itu bercampur.
Lafad “ Raqobah” yang berarti hamba sahaya itu adalah mutlak disamping afradnya banyak ,juga tidak dibatasi untuk afrad manapun . lafad mutlak yang meliputi sejumlah afrad adalah sama dengan lafad yang ‘Am. Namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip. Lafad ‘Am itu umumnya bersifat syumuli {meliputi}. Sedangkan keumuman dalam lafad Mutlak bersifat badali {mengganti}. Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli {keseluruhan } yang berlaku atas satuan-satuan , sedangkan ‘am badali adalah kulli dari segi tidak terhalang untuk menggambarkan terjadinya kebersamaan ,tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuan-satuan ,hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
Muqoyyad { yang diikatkan kepada sesuatu}yaitu lafad yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafad itu suatu sifat. Contoh lafad hamba sahaya yang beriman .kata beriman dalam lafad yang tersebut disebut qoyid dalam bentuk sifat.Ada juga dalam bentuk syarat, seperti dalam firmanya allah:
فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايام
Artinya: barang siapa yang yang tidak memperoleh {hamba sahaya } hendaknya puasa tiga hari.
Bolehnya berpuasa hari itu dikaitkan dengan syarat dapat memperoleh hamba sahaya yang akan dimerdekakan.
Kemudian ada qoyyid yang berbentuk ghoyah {batasan} seperti firmanya allah dalam surat al-baqoroh : ثم اتم االصيام الي اليل
Artinya: kemudian sempurnakan puasa sampai malam hari.
Perbedaan antara mutlak dan muqoyyad itu adalah mutlak menunjukkan kepada hakikat suatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah .Umpamanya firman allah dalam surat al-Mujadalah:
والذين يظهرون من نسائهم ثم يعمودون لما قالوا فتحريررقبة من قبل ان يتماسا
Lafad”roqobah” yang berarti hamba sahaya dalam ayat ini disebutkan secara mutlak karena tidak diiringan oleh sifat apapun.Pengertian ayat ini berarti harus memerdekakan hamba sahaya dalam bentuk apapun .jadi hanya menuntut memerdekakan yang bernama hamba sahaya .Sedangkan muqoyyad ,menunjukkan pada hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa hal ,baik jumlah, sifat dan keadaan. Hal,sifat dan keadaan atau kuantitas yang menyertai muqoyyad itulah disebut qoyid.seperti dalam firman allah surat an-nisa’:
من قتل مومنا خطا فتحريررقبة مومنة
Artinya :barangsiapa yang membunuh orang beriman secara tidak disengaja maka hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Lafad “roqobah” dalam ayat diatas memakai qoyid yaitu beriman ,Dengan demikian ayat ini berarti keharusan memerdekakan hamba dengan bersifat beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman.
Bila suatu hukum datang dalam bentuk mutlak ,maka hukumnya diamalkan berdasarkan kemutlakanya. Demikian pula apabila hokum datang dalam bentuk muqoyyad ,maka hukum itu diamalkan menurut qoyyid yang menyertainya seperti dalam contoh diatas .dalam hal ini tidak ada yang berbeda pendapat dikalangan ulama’.
Namun adakalanya hokum itu datang dengan bentuk mutlak dalam suatu nash hukum dan datang pula dalam bentuk muqoyyad dalam nash hokum yang lain. Mengenai cara menghadapi masalah ini menjadi perbincangan dikalangan ulama’ ushul.
2. POLA HUBUNGAN ANTARA MUTLAK DAN MUQOYYAD
1. Sasaran dari dua nash hukum itu adalah satu. Jadi ,hukum yang disebutkan adalah sama dan sebab yang menimbulkan hukum itu juga sama . umpamanya firman allah dalam surat al-Maidah : حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزيز
Artinya: Diharamkan atasmu memakan bangkai,darah,dan daging babi.
Kata “ ad-damu”dalam ayat tersebut adalah mutlak ,dalam arti tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun.selanjutnya dalam firman allah pada surat al-an’am :
قل لااجد في ما اوحي الي محرما علي طاعم يطعمه الاان يكون ميتة او دما مسفوحا اولحم خنزيز
Artinya:katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai,darah mengalir dan daging babi.
Dalam ayat ini kata” al-damu” diberi sifat dengan masfuh {mengalir}. Tetapi hukum dalam kedua ayat itu adalah sama,yaitu sama-sama haram.Demikian pula sebab yang mengakibatkan hukum juga sama yaitu darah . Oleh karena itu ditanggungkanlah mutlak atas muqoyyad,dalam arti :hukum dalam lafad mutlak harus dipahami menurut yang berlaku pada lafad muqoyyad. Dalam contoh diatas kata “darah” yang terdapat pada lafad mutlak harus diartikan dengan dengan “darah yang mengalir “sebagaiman terdapat pada lafad yang moqoyyad. .keharusan memahami mutlak menurut arti muqoyyad dalam bentuk ini.
2. Sebab yang menimbulkan hukum berbeda antara lafad mutlak dan lafad yang muqoyyad ,namun hukum yang terdapat dalam dua lafad tersebut adalah sama .sebagaiman dalam firmanya allah surat al-Mujadalah: فتحريررقبة من قبل ان يتماسا
Dalam lafad “Roqobah” yang menjelaskan kaffarh dihar ini adalah dalam bentuk mutlak. Lafad roqobah ini juga muncul dengan bentuk muqoyyad dalam firman allah ,surat al-Nisa’ yang membicarakan sanksi terhadap pembunuhan yang tidak disengaja:
من قتل مومنا خطاء فتحريررقبة مومنة
Dalam lafad roqobah diatas itu diberi qoyi yaitu sifat mu’minah.
Dalam ayat pertama,lafad roqobah itu dalam bentuk mutlak,sedangkan dalam ayat kedua ,lafad roqobah diberi qoyyid dengan mu’minah.sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat itu berbeda:pada lafad mutlak{ayat pertama} adalah hukum dalam kasus kaffarat dzihar ,sedangkan pada lafad muqayyad {ayat kedua} dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja.hukum pada kedua ayat tersebut sama ,yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya.
Dalam menanggung mutlak atas muqayyad dalam bentuk ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’:
a. kalangan ulama’syafi’iyah berpendapat bahwa ditanggungkan secara mutlak kepada
muqayyad dalam arti hamba yang memerdekakan dalam kasus kaffarat dzihar yang
berbentuk mutlak itu adalah hamba sahaya yang mu’min yang dalam lafad muqayyad yang
tersebut dalam ayat yang menjelaskan sanksi pembunuhan yang tidak disengaja sanksinya
adalah memerdekakan hamba sahaya yang mu’min.
b. ulama’ hanafiyah mengatakan bahwa dalam bentuk ini ,lafad mutlak tidak dapat dipahami
dalam bentuk muqayyad .karena itu harus mengamalkan lafad mutlak secara kemutlakanya
yaitu untuk sanksi dzihar yang memerdekakan adalah hamba secara mutlak sedangkan
lafad muqayad diamalkan sesuai dengan qayyidnya yaitu untuk kafarah pembunuhan yang
tidak disengaja sanksinya adalah memerdekakan hamba sahay yang mu’min.
3. sebab yang menimbulkan hukum adalah sama sedangkan hukumnya berbeda . umpamanya
Ayat yang menjelaskan tentang wudu’ dalam surat al-Maidah :
ياايهاالذين امنوا اذاقمتم للصلاة فغساوا وجوهكم وايديكم الي المرافق
Artinya : hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat,basuhlah mukamu
Dan tanganmu sampai siku.
Dalam ayat ini dijelaskan keharusan mencuci”tangan sampai siku” dalam bentuk muqayyad
Disamping itu ada pula firman allah yang membicarakan tangan dalam ayat yang sama :
فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فمسحوا بوجوهكم وايديكم منه
Artinya : bila kamu tidak menemukan air bertayamumlah dengan menggunakan debu yang
Suci , sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengannya.
Dalam ayat ini dijelaskan keharusan menyapukan tanah pada muka dan dua tangan .kata tangan disini tidak diikatkan kepada suatu sifat.tangan dalam ayat ini adalah mutlak.hukum kedua ayat tersebut berbeda yaitu pada yang mutlak adalah kewajiban menyapu sedangkan pada yang muqayyad adalah kewajiban mensuci sebab dalam kedua ayat itu adalah sama yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat.
Dalam hal menanggungkan lafad mutlak kepada muqayyad dalam bentuk ini terdapat perbedaan dikalangan para ulama’:
a. Menurut kebanyakan para ulama’{Hanafiah,Malikiah,dan sebagian ulama’Syafi’iyah}lafad
mutlak tidak ditanggungkan kepada muqayyad artinya lafad mutlak difahami menurut mut-
laknya ,sedangkan lafad muqayyad ditanggungkan menurut qayyidnya . Dalam contoh diatas ,dalam wudu’ yang dibasuh adalah tangan sampai siku sedangkan dalam tayammum yang disapu adalah anggota tubuh yang bernama tangan tanpa ada batasan.
b. menurut sebagian besar kalangan ulama’ Syafi’iyah ,lafad mutlak harus ditanggungkan ke-
pada muqayad .artinya lafad mutlak dipahami menurut arti muqayyad .Dalam contoh diatas
pada waktu tayammum yang disapu itu adalah tangan sampai siku.Dalam hal ini ada dua
pendapat berbeda dikalangan sesama ulama’ Syafi’iyah.
4. sebab yang menimbulkan dalam lafad mutlak dan lafad muqayyad adalah berbeda ,demikian pula hukumnya pun berbeda pula.Dalam bentuk ini ,ulama’sepakat mengatakan
Bahwa lafad mutlak tidak ditannggungkan kepada muqayyad masing-masing diperlakukan menurut sifatnya:
a. Firman Allah dalam surat al-Maidah:والسارق والسارقة فاقطعوا ايديها
artinya:pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya.
b. Firmanya Allah dalam surat al-Maidah :
ياايهااالذين امنوا اذاقمتم الي الصلاة فغسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق
Dalam ayat yang pertama disebutkan ”tangan” secara mutlak tanpa qoyyid atau sifat apa-
Apa ,sedangkan pada ayat yang kedua ”tangan ”disebutkan memakai qayyid yaitu sampai
Siku hukum dalam ayat tersebut berbeda pada ayat pertama disebutkan secara mutlak keharusan memotong tangan, pada ayat kedua yang muqayyad keharusan mencuci tangan sebab berlaku hukumnya juga berbeda ,pada ayat pertama yang mutlak tentang sanksi hukum terhadap pencuri ,sedangkan pada ayat yang kedua yang muqayyad tentang berwudhu’ untuk melakukan shalat.
Dalam hal ini ulama’ sepakat mengatakan bahwa kedua ayat ini berlaku sendiri-sendiri ,yaitu yang mutlak berlaku mutlak dan yang muqayyad berlaku secara muqayyadnya.
5. Adakalanya salah satu diantara keduanya {lafad mutlak dan muqoyad}dalam bentuk insbat{membenarkan dan yang satu lagi dalam bentuk nafi{membantah}.contohnya seseorang berkata ” memerdekakan hamba sahaya ” lalu berkata lagi ”jangan memerdekakan hamba sahaya yang kafir”atau ia berkata ”memadai memerdekakan hamba sahaya yang muslim”. Dan berkata lagi ”Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya ” lafad mutlak dalam contoh tersebut diberi qoyid dengan kebalikan atau lawan dari qoyid pada lafad yang muqoyyad.Dalam contoh pertama kata ”hamba sahaya” diberi qoyid dengan ”muslim” dan pada contoh yang kedua ”hamba sahaya” diberi qoyid dengan kata ” muslim”
6. Bila dalam keduanya {mutlak dan muqoyyad}dalam bentuk nafi atau dalam bentuk melarang atau yang satu dalam bentuk nafi dan yang satu lagi berbentk melarang ,maka lafad mutlak diberi qoyid dengan sifat yang terdapat dalam lafad yang muqoyyad.contohnya bentuk kedua dalam perkataan ” tidak cukup menyembelih hewan” dan ”tidak cukup menyembelih hewan sakit”,” jangan menyembelih hewan”.
Bentuk dan contoh yang disebutkan sebelumnya adalah lafad yang muqoyyad berada dalam satu tempat ,sehingga lafad mutlak hanya mungkin ditangggungkan kepada yang muqoyyad itu saja .
7. bentuk lain adalah lafad muqoyyad berada dalam dua tempat yang berbeda .
Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda :
a. menurut ulama’syafi’yyah lafad mutlak harus ditanggungkan kepada salah satu diantara kedua muqoyyad ditempat yang berbeda.seperti firmanya allah surat al-Maidah:
فصيام ثلاثة ايام
Maka harus berpuasa tiga hari
Kata ” tiga hari ” dalam ayat ini adalah mutlak tanpa keterangan .Artinya ,tiga hari tersebut berturut-turut dan boleh pula berpisah.
Firman allah dalam kasus kafarat zdihar pada surat al-Mujadalah:
فصيام شهرين متتابعين
Maka harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Dalam ayat ini berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqoyyad yaitu”berturut-turut”.
Firman allah yang membicarakan dam haji dalam surat al-Baqarah:
فصيام ثلاثة ايام في الحج وسبعة اذارجعتم
,
Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah kembali dari ibadah haji .
Dalam ayat pertama kewajiban puasa dinyatakan secara mutlak.lafad muqoyyadnya bertemu dalam dua tempat dan hukumnya berbeda : yang pertama puasa secara berturut-turut { dalam kasus zdihar}dan yang kedua puasa secara terpisah {dalam kasus dam haji}
Meskipun lafad muqoyadnya ada dalam dua tempat yang berbeda ,namun bila dibandingkan ternyata salah satu diantar keduanya lebih tepat dijadikan qoyid bagi lafad mutlak karena adanya titik kesamaan .Dalam hal ini kewajiban berpuasa lebih tepat diberi qoyid yang terdapat dalam kasus kafarat zdihar yaitu”berturut-turut”karena mutlak dan muqoyad sama-sama dalam kasus kafarah.
b. Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa lafad mutlak tidak dapat ditanggungkan kepada lafad muqoyyad dalam keadaan tersebut karena lafad muqoyyadnya berbeda hukumnya.oleh karena itu lafad mutlak berlaku secara kemutlakanya sedangkan lafad muqoyyad berlaku menurut qoyidnya masing-masing berdiri sendiri.
Bila muqoyad berada dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang dekat diantara kaduanya untuk memberi qoyyid kepada lafad yang mutlak,maka lafad mutlak tidak dapat ditanggungkan kepada lafad muqoyyad,karena meskipun ada lafad muqoyadnya ,tetapi berada dalam dua bentuk yang berbeda.dengan demikian lafad muqoyyad berlaku dengan qoyidnya dan lafad mutlak berlaku secara kemutlakanya.Seperti firmanya allah dalam surat al-Baqarah tentang qodho’ ramadhan:
فمن كان مريضا او علي سفر فعدة من ايام اخر
Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam keadaan perjalanan{lalu berbuka}maka {wajib baginya berpuasa} sebanyak tiga hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Ayat menjelaskan kewajiban qada’ puasa {karena sakit atau dalam perjalanan} secara mutlak,baik secara berturut-turut atau terpisah .muqayyadnya berada dalam dua tempat yaitu keharusan berpuasa berturut-turut dalam kasus kafarah zdihar{surat al-Mujadalah}dan kebolehan puasa terputus dalm kasus puasa karena dam haji{surat al-Baqaqrah }.Dalam hal ini ,maka qada’ puasa diluar bulan ramadhan itu boleh dilakukan secara terpisah,karena sifat kemutlakanya tidak terpengaruh oleh kedua lafad muqayyadnya tersebut.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam mendefinisikan mutlak dan muqoyyad ulama’ banyak yang berbeda pendapat mengenai pengertian kedua tersebut. Yang pertama ,mutlak menurut Muhammad al-Hudhari mengatakan mutlak adalah lafad yang memberi petunujuk terhadap satu atau beberapa satuan mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdi.mutlak menurut al-Amidi adalah lafad yang memberi petunjuk kepada madlul {yang diberi petunjuk}yang mencakup dalam jenisnya. Sedangkan mutlak menurut Ibnu Subki adalah lafad yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada ikatan apa-apa.
Dalam membandingkan semua definisi-definisi diatas dalam disimpulkan bahwa mutlak adalah lafad yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamnya.juga dapat dikatakan mutlak sama dengan nakirah karena dalam segi keumumanya,seperti dalam firmanya allah yang menjelaskan bahwa ” seseorang yang menzdihar suaminya kemudian dia mencabut apa yang telah mereka ucapkan maka hendaknya mereka memerdekakan hamba sahaya sebelum mereka mencampurinya” kata hamba sahaya diatas itu diperuntukkan secara mutlak artinya baik hamba sahay yang beriman dan hamba sahaya yang tidak beriman .
Muqayyad adalah lafad yang menunjukkna hakikat sesuatu yang diikatkan pada lafad itu suatu sifat. Seperti firmanya allah dalam surat an-Nisa’ mengatakan ” seseorang yang membunuh orang mu’min tanpa disengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahay yang mu’min” pada kata hamba sahaya diatas masih diqayyidi dengan mu’min, sedangkan ayat yang terdapat dalam surat al-Mujadalah yang menjelaskan masalah zdihar disitu kata ”hamba sahaya ” tidak dibatisi dengan mu’min.
Dalam masalah ini ada beberapa bentuk pola huibungan antara lafad mutlak dan muqayad ,yaitu:
1. sasaran dari dua nash hukum itu adalah satu.
2. sebab yang menimbulkan hukum berbeda antar lafad mutlak dan lafad muqayad, namun hukum yang terdapat dalam hukum itu sama.
3. sebab yang menimbulkan hukum adalah sama sedangkan hukumnya sama.
4. sebab yang menimbulkan hukum lafad mutlak dan lafad muqayyad adalah berbeda ,demikian pula hukumnya berbeda .
5. adakalanya salah satu diantara keduanya dalam membentuk sifat yang membantah dan yang kedua dalam bentuk membenarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin,Amir ,Ushul figh, Jakarta,Media grafika,2009
Rifa’I,Muhammad, Ushul figh, Semarang, Wicaksana, 1984
Said fadil, Waraqat ushul figh, Surabaya , al-Hidayah ,2005
PENCARIAN
Rabu, 29 Juni 2011
NASAKH
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH seru sekalian alam, saya panjatkan puji syukur kehadhirat ALLAH Swt yang selalu berkenan melimpahkan taufik serta hidayahNya, terutama dalam penyusunan makalah ini.
Dan semoga sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi MuhammadSaw,serta keluargnya,para sahabat dan segenap kaum muslimin,
Isi makalah ini adalah materi tentang usul fiqih yang berjudul ”NASAKH” yang telah saya susun sesuai dengan petunjuk yang ada,guna memenuhi tugas yang telah diberikan oleh bapak dosen di STAIS wonorejo Lumajang.
Namun saya menyadari bahwa pembahasan dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan,oleh karna itu kepada para pembaca yang budimansaya harapkan saran,pandapat dan koreksinya yang konstruktif.
Mudah-mudahan ALLAH melimpahkan taufiq dan hidayahnya sehingga makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Rumusan masalah
c. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian nasakh
b. Pembagian nasakh
c. Rukun dan rukun nasakh
d. Syarat nasakh
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Usul fiqih terdiri dari dua kata yaitu usul ( fondasi ) dan fiqih ( landasan atau pemahaman secara mendalam yang membutuhkan oergerakan potensi akal ).
Pada abad ke-8Hijriyah muncul Imam Abu Ishaq Al-syatibi dengan bukunya Al-mufaqat fiAl-usul Al syari’ah yang menguraikanberbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasan, ia juga maqasid al-syari’ah (tujuan-tujun syara’ dalam menetapkan hukum )yang selama ini kurang diperhataikan oleh ulama-ulama usul fiqih.dengan demikian Al-syiyibi member warna baru dibidang usul fiqih yang oleh para ahli usul fiqih kontemporer dianggap sebagai buku usul fiqih yang konterporer dan akomodatif untuk zaman sekarang.
Sebagai orang islam kita wajib mengetahui hukum-hukum islam yang ada guna membimbing dalam proses berlakunya hukum-hukum terdahulu yang sama materinya,sehingga kita bisa tau mana hukun yang benar dan mana hukum tidak benar.
B.TUJUAN
1. Mengetahui tata-cara mempelajari usul fiqih
2. Lebih memahami proses-proses hukum dalam ilmu usul fiqih
3. Berfikir kritis dalam mempelajari ilmu usul fiqih
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian nasakh
Nasakh menurut istilah adalah :
Artinya : Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datang kemudian Maksudnya adalah hukum yang dihapus itu atas kehendak ALLAH dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku hukum tersebut.
Menurut ulama usul fiqih mengemukakan masalah yang dianggap benar apabila
a) Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum syara’ ALLAH dan Rosulullah.
b) Yang dibatalkan adalah hukum syarak yang disebut mansukh.
c) Hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkan.
B. Pembagian nasakh
1. Nasakh yang tidak ada gantinya
Contoh : Pemberian shodaqoh kepada seseorang yang hendak bertemu dengan Rosulullah SAW.
2. Nasakh yang tidak ada gantinya
Contoh : sholat lima puluh kali menjadi lima kali
3. Nasakh kaum ayat, sedangkan bacaanya masih berlaku
Contoh : hukuman rajam bagi orang laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
4. Nasakh syarih adalah berakhirnya hukum yang dinasakhkan.
Contoh : Hadits tentang ziarah kubur.
5. Nasakh zimmi adalah nasakh antara dua nash yang berlawanan.
Contoh : ayat wasiat kepada ahli waris dinasakhkan oleh ayat mewaris.
Nasakh zimmi dibagi lagi menjadi :
1. Nasakh terhadap segala hukum yang dianggap nash terdahulu.
Contoh :
Artinya : ”Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya diberi nafkah setahun lamanya dengan tinggal di rumahnya, akan tetapi jika mereka pindah sendiri tidak ada dosa baginya.
Dinasakhkan oleh ayat
Artinya : ”Dan orang-orangynag meninggal diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri hendaknya para hendaknya para istri-istri itu beribadah beribadah empat bulan sepuluh hari.
Menurut M. Abu zuhru kedua ayat tersebut dikhususkan untuk janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Nash juz’I yaitu mengeluarkan hukum dari nash terdahulu.
Contoh : ayat qadzaf dengan ayat li’an
C. RUKUN NASAKH
Rukunnya ada empat yaitu:
1. Adal al-nasakh ( ) yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh ( ) yaitu ALLAH ta’ala, Dialah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkan.
3. Mansukh ( ) yaitu hukum yang dibatalkan.
4. Mansukh a’nhu ( ) yaitu orang yang dibebani hukuman.
D. SYARAR-SYARAT NASAKH
- Yang disepakati
1. Nasikh harus terpisah dari mansukh.
2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
3. Nasikh harus dalil-dalil syara’
4. Mansukh tidak dibatasi pada suatu-waktu
5. Mansukh harus hukum-hukum syara’.
- Yang belum disepakati
1. Nasikh da mansukh tidak satu jenis.
2. Ada hukum yang baru sebagai pengganti yang dinasakhkan.
3. Hukum pengganti lebih berat daripada yang dinasakhkan.
# CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Diperlukan penelitian dan kehati-hatian seorang mujtahid, sehingga tahu mana nash yang dating lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Nash yang dulu disebut MANSUKH dan yang datang kemudian disebut NASIKH.
Urutan datangnya nash dapat diketahui melalui
1. Penjelasan langsung dari Rosulullah Saw,jika ayat itu mansukh dan ayat ini nasikh
2. Dalam salah satu nash yang bertentangan ada petunjuk mengatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lainnya.
Misal : sabda Rosulullah tentang hukum menziarah kubur
Artinya : Dahulu saya melarang kamu menzirah kubur, tetapi kini tidak
3. Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Nasakh adalah penghapusan hukum dengan dalil-dalil yang datang kemudian
2. Pembagian nasakh ada 5 yaitu :
a. Nasakh syarih : berakhirnya hukum yang disesuaikan
b. Nasakh zimmi : adanya dua hukum nash yang berlawanan
c. Nasakh yang tidak digantikan
d. Nasakh yang digantikan
e. Nasakh hukum ayat ( teks )
3. Rukun nasakh ada 4 yaitu :
a. Adal al – nasakh : pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang telah ada.
b. Nasikh : ALLAH ta’ala.
c. Mansukh : hukum yang dibatalkan
d. Mansukh anhu: orang yang dibebani hukuman
4. Syarat-syarat nasakh
- Yang disetujui
a. Nasakh harus terpisah dari mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh
c. Nasikh harus dalil-dalil syar’i
d. Mansukh harus hukum-hukum syara’
- Yang tidak disetujui
a. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis
b. Ada hukum baru sebagai pengganti yang dinasakhkan
c. Hukum pengganti lebih berat daripada yang dinasakhkan
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Umam chaerul.dkk.usul fiqih.PUSTAKA SETIA.Bandung 1998
Drs.H.Bakry nazar.fiqi dan usul fiqih. Raja Grafinda Pustaka. Jakarta 2003
Segala puji bagi ALLAH seru sekalian alam, saya panjatkan puji syukur kehadhirat ALLAH Swt yang selalu berkenan melimpahkan taufik serta hidayahNya, terutama dalam penyusunan makalah ini.
Dan semoga sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi MuhammadSaw,serta keluargnya,para sahabat dan segenap kaum muslimin,
Isi makalah ini adalah materi tentang usul fiqih yang berjudul ”NASAKH” yang telah saya susun sesuai dengan petunjuk yang ada,guna memenuhi tugas yang telah diberikan oleh bapak dosen di STAIS wonorejo Lumajang.
Namun saya menyadari bahwa pembahasan dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan,oleh karna itu kepada para pembaca yang budimansaya harapkan saran,pandapat dan koreksinya yang konstruktif.
Mudah-mudahan ALLAH melimpahkan taufiq dan hidayahnya sehingga makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Rumusan masalah
c. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian nasakh
b. Pembagian nasakh
c. Rukun dan rukun nasakh
d. Syarat nasakh
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Usul fiqih terdiri dari dua kata yaitu usul ( fondasi ) dan fiqih ( landasan atau pemahaman secara mendalam yang membutuhkan oergerakan potensi akal ).
Pada abad ke-8Hijriyah muncul Imam Abu Ishaq Al-syatibi dengan bukunya Al-mufaqat fiAl-usul Al syari’ah yang menguraikanberbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasan, ia juga maqasid al-syari’ah (tujuan-tujun syara’ dalam menetapkan hukum )yang selama ini kurang diperhataikan oleh ulama-ulama usul fiqih.dengan demikian Al-syiyibi member warna baru dibidang usul fiqih yang oleh para ahli usul fiqih kontemporer dianggap sebagai buku usul fiqih yang konterporer dan akomodatif untuk zaman sekarang.
Sebagai orang islam kita wajib mengetahui hukum-hukum islam yang ada guna membimbing dalam proses berlakunya hukum-hukum terdahulu yang sama materinya,sehingga kita bisa tau mana hukun yang benar dan mana hukum tidak benar.
B.TUJUAN
1. Mengetahui tata-cara mempelajari usul fiqih
2. Lebih memahami proses-proses hukum dalam ilmu usul fiqih
3. Berfikir kritis dalam mempelajari ilmu usul fiqih
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian nasakh
Nasakh menurut istilah adalah :
Artinya : Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datang kemudian Maksudnya adalah hukum yang dihapus itu atas kehendak ALLAH dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku hukum tersebut.
Menurut ulama usul fiqih mengemukakan masalah yang dianggap benar apabila
a) Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hukum syara’ ALLAH dan Rosulullah.
b) Yang dibatalkan adalah hukum syarak yang disebut mansukh.
c) Hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkan.
B. Pembagian nasakh
1. Nasakh yang tidak ada gantinya
Contoh : Pemberian shodaqoh kepada seseorang yang hendak bertemu dengan Rosulullah SAW.
2. Nasakh yang tidak ada gantinya
Contoh : sholat lima puluh kali menjadi lima kali
3. Nasakh kaum ayat, sedangkan bacaanya masih berlaku
Contoh : hukuman rajam bagi orang laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
4. Nasakh syarih adalah berakhirnya hukum yang dinasakhkan.
Contoh : Hadits tentang ziarah kubur.
5. Nasakh zimmi adalah nasakh antara dua nash yang berlawanan.
Contoh : ayat wasiat kepada ahli waris dinasakhkan oleh ayat mewaris.
Nasakh zimmi dibagi lagi menjadi :
1. Nasakh terhadap segala hukum yang dianggap nash terdahulu.
Contoh :
Artinya : ”Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya diberi nafkah setahun lamanya dengan tinggal di rumahnya, akan tetapi jika mereka pindah sendiri tidak ada dosa baginya.
Dinasakhkan oleh ayat
Artinya : ”Dan orang-orangynag meninggal diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri hendaknya para hendaknya para istri-istri itu beribadah beribadah empat bulan sepuluh hari.
Menurut M. Abu zuhru kedua ayat tersebut dikhususkan untuk janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Nash juz’I yaitu mengeluarkan hukum dari nash terdahulu.
Contoh : ayat qadzaf dengan ayat li’an
C. RUKUN NASAKH
Rukunnya ada empat yaitu:
1. Adal al-nasakh ( ) yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh ( ) yaitu ALLAH ta’ala, Dialah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkan.
3. Mansukh ( ) yaitu hukum yang dibatalkan.
4. Mansukh a’nhu ( ) yaitu orang yang dibebani hukuman.
D. SYARAR-SYARAT NASAKH
- Yang disepakati
1. Nasikh harus terpisah dari mansukh.
2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
3. Nasikh harus dalil-dalil syara’
4. Mansukh tidak dibatasi pada suatu-waktu
5. Mansukh harus hukum-hukum syara’.
- Yang belum disepakati
1. Nasikh da mansukh tidak satu jenis.
2. Ada hukum yang baru sebagai pengganti yang dinasakhkan.
3. Hukum pengganti lebih berat daripada yang dinasakhkan.
# CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Diperlukan penelitian dan kehati-hatian seorang mujtahid, sehingga tahu mana nash yang dating lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Nash yang dulu disebut MANSUKH dan yang datang kemudian disebut NASIKH.
Urutan datangnya nash dapat diketahui melalui
1. Penjelasan langsung dari Rosulullah Saw,jika ayat itu mansukh dan ayat ini nasikh
2. Dalam salah satu nash yang bertentangan ada petunjuk mengatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lainnya.
Misal : sabda Rosulullah tentang hukum menziarah kubur
Artinya : Dahulu saya melarang kamu menzirah kubur, tetapi kini tidak
3. Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Nasakh adalah penghapusan hukum dengan dalil-dalil yang datang kemudian
2. Pembagian nasakh ada 5 yaitu :
a. Nasakh syarih : berakhirnya hukum yang disesuaikan
b. Nasakh zimmi : adanya dua hukum nash yang berlawanan
c. Nasakh yang tidak digantikan
d. Nasakh yang digantikan
e. Nasakh hukum ayat ( teks )
3. Rukun nasakh ada 4 yaitu :
a. Adal al – nasakh : pernyataan yang menunjukkan pembatalan hukum yang telah ada.
b. Nasikh : ALLAH ta’ala.
c. Mansukh : hukum yang dibatalkan
d. Mansukh anhu: orang yang dibebani hukuman
4. Syarat-syarat nasakh
- Yang disetujui
a. Nasakh harus terpisah dari mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh
c. Nasikh harus dalil-dalil syar’i
d. Mansukh harus hukum-hukum syara’
- Yang tidak disetujui
a. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis
b. Ada hukum baru sebagai pengganti yang dinasakhkan
c. Hukum pengganti lebih berat daripada yang dinasakhkan
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Umam chaerul.dkk.usul fiqih.PUSTAKA SETIA.Bandung 1998
Drs.H.Bakry nazar.fiqi dan usul fiqih. Raja Grafinda Pustaka. Jakarta 2003
kaedah fikh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas Tarbiyah . Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah tersebut diatas maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan adalah sebagai berikut:
1. Pengertian qaidah fiqih
2. Sejarah perkembangan kaidah fiqh
3. Pembagian kaidah fiqh
4. Manfaat kaidah fiqh
5. Urgensi dari kaidah fiqh
6. Kedudukan kaidah fiqh
7. Kaidah asasi
8. Kaidah umum
9. Kaidah khusus
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan manfaat kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut ahli bahasa arab Qaidah adalah bentuk tunggal dari Qawa’id yang berarti apa-apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain . Kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan menurut tinjauan secara terminologi kaidah punya beberapa arti sebagai berikut :
1. Menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :”Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
2. Menurut mayoritas Ulama Ushul definisi kaidah adalah Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
3. Menurut ahlul ilmi adapun qaidah secara istilah syar'ii adalah : perkara yang menyeluruh ( universal ) yang di kembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.
4. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa : qoidah adakah perkara yang menyeluruh dikembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.
maka dari uraian tersebut bahwasanya arti qaidah adalah : sebuah ungkapan yang terdiri dari beberapa kata akan tetapi masuk didalamnya pembahasan yang luas, karena sesunggunya pembahasan inti dari qaidah adalah untuk mengumpulkan cabang-cabang yang berbeda-beda.(ibid).
Sedangkan arti fiqh secara etimologi adalah mengerti sebagaimana sabda Nabi SAW, yaitu ‘’Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama’’. Maka orang yang pinter dan mendalami hukum syariat di sebut : Al faquh atau al faqih dan jamaknya ; fuqoha' artinya orang yang sangat cerdas dalam pemahaman. Adapun mana fiqh secara istilah adalah : mengetahui hukum-hukum syari'at serta cabangya dengan dalil dari al-qur’an,hadist,ijma'dan qiyas .
Sedangkan ilmu Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Dan adalah al imam al izzi bin abdus salam – semoga allah merahmatinya- bwliau wafat thn 606 H dan beliau mengarang kitab " qowaidul ahkam fi masolohil anam " dan kitab ini termasuk salah satu kitab yang pertama di tulis tentang qowaidul fiqhiyyah, maka setelah itu para ulama mengikuti jejak beliau dan mulailah mereka mengarang kutub dalam masalah qiwaidul-fiqhiyyah.
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah ”dasar – dasar untuk mengetahui tentang hukum-hukum syara’ berdasarkan al-qur’an ,hadist,ijma’ dan qiyas.
B. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama kurang lebih tiga abad dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), zaman tabi’in dan tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H) serta zaman kejumudan selama Tahun 351 H / 1974 M, karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah. Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan,ketika itu pula kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh seperti sabda Nabi saw ’’ Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
1. Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung almustasnayat
2. Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
• Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah sebagai berikut:
1. Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah yang disusun adalah :”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” . Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
2. Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
3. Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Kemudian fase berikutnya adalah perkembangan atau kodivikasi.Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
2. Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
3. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-
Syafi’i (W. 761 H)
4. Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Selanjutnya adalah Fase kematangan dan penyempurnaan.Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”.Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut menjadi :“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”.
C. Pembagian Kaidah Fiqh
Pembagian kaidah fiqih dapat dibedakan dari beberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”. kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”dan”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih sempit atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Kaidah kunci,kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :”Menolak kerusakan (kejelekan) lebih utama daripada mengharap mendapatkan maslahat”.Kaidah ini merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b. Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
1) ”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
2) ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
3) ”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
4) ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
5) ’’Kemudaratan harus dihilangkan’’
D. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Berikut adalah manfaat dari kaidah Fiqh menurut Imam Ali al-Nadawi (1994):
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
2. Membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
E. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
F. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
G. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama “segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua“keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
H. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hal ini berasasikan perkataan Umar bin Khattab :“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas asasi kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
I. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fiqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusus di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu “Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada asasinya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”. Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus dibidang fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya(bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu : Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.Yang kedua sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
B. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas Tarbiyah . Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah tersebut diatas maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan adalah sebagai berikut:
1. Pengertian qaidah fiqih
2. Sejarah perkembangan kaidah fiqh
3. Pembagian kaidah fiqh
4. Manfaat kaidah fiqh
5. Urgensi dari kaidah fiqh
6. Kedudukan kaidah fiqh
7. Kaidah asasi
8. Kaidah umum
9. Kaidah khusus
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan manfaat kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut ahli bahasa arab Qaidah adalah bentuk tunggal dari Qawa’id yang berarti apa-apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain . Kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan menurut tinjauan secara terminologi kaidah punya beberapa arti sebagai berikut :
1. Menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :”Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
2. Menurut mayoritas Ulama Ushul definisi kaidah adalah Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
3. Menurut ahlul ilmi adapun qaidah secara istilah syar'ii adalah : perkara yang menyeluruh ( universal ) yang di kembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.
4. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa : qoidah adakah perkara yang menyeluruh dikembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.
maka dari uraian tersebut bahwasanya arti qaidah adalah : sebuah ungkapan yang terdiri dari beberapa kata akan tetapi masuk didalamnya pembahasan yang luas, karena sesunggunya pembahasan inti dari qaidah adalah untuk mengumpulkan cabang-cabang yang berbeda-beda.(ibid).
Sedangkan arti fiqh secara etimologi adalah mengerti sebagaimana sabda Nabi SAW, yaitu ‘’Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama’’. Maka orang yang pinter dan mendalami hukum syariat di sebut : Al faquh atau al faqih dan jamaknya ; fuqoha' artinya orang yang sangat cerdas dalam pemahaman. Adapun mana fiqh secara istilah adalah : mengetahui hukum-hukum syari'at serta cabangya dengan dalil dari al-qur’an,hadist,ijma'dan qiyas .
Sedangkan ilmu Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Dan adalah al imam al izzi bin abdus salam – semoga allah merahmatinya- bwliau wafat thn 606 H dan beliau mengarang kitab " qowaidul ahkam fi masolohil anam " dan kitab ini termasuk salah satu kitab yang pertama di tulis tentang qowaidul fiqhiyyah, maka setelah itu para ulama mengikuti jejak beliau dan mulailah mereka mengarang kutub dalam masalah qiwaidul-fiqhiyyah.
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah ”dasar – dasar untuk mengetahui tentang hukum-hukum syara’ berdasarkan al-qur’an ,hadist,ijma’ dan qiyas.
B. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama kurang lebih tiga abad dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman yaitu zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), zaman tabi’in dan tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H) serta zaman kejumudan selama Tahun 351 H / 1974 M, karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah. Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan,ketika itu pula kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh seperti sabda Nabi saw ’’ Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
1. Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung almustasnayat
2. Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
• Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah sebagai berikut:
1. Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah yang disusun adalah :”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” . Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
2. Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
3. Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Kemudian fase berikutnya adalah perkembangan atau kodivikasi.Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
2. Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
3. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-
Syafi’i (W. 761 H)
4. Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
Selanjutnya adalah Fase kematangan dan penyempurnaan.Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”.Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut menjadi :“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”.
C. Pembagian Kaidah Fiqh
Pembagian kaidah fiqih dapat dibedakan dari beberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”. kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”dan”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih sempit atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Kaidah kunci,kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :”Menolak kerusakan (kejelekan) lebih utama daripada mengharap mendapatkan maslahat”.Kaidah ini merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b. Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
1) ”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
2) ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
3) ”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
4) ”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
5) ’’Kemudaratan harus dihilangkan’’
D. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Berikut adalah manfaat dari kaidah Fiqh menurut Imam Ali al-Nadawi (1994):
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
2. Membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
E. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
F. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
G. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama “segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua“keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
H. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hal ini berasasikan perkataan Umar bin Khattab :“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas asasi kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
I. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fiqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusus di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu “Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada asasinya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”. Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus dibidang fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya(bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu : Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.Yang kedua sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
B. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
ILMU HADIS
Untuk Pemula
بسم الله الرحمن الرحيم
ILMU HADIS
Untuk Pemula
Kitab Asli
Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in
Penulis
Amr Abdul Mun'im Salim
Penerbit
Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, Mesir
Tahun terbit
1417 H – 1997 M
Penerjemah
Abah Zacky
Hak Cipta @ Abah Zacky
abah_zacky@yahoo.com
Diizinkan memperbanyak atau mengkopy buku ini baik sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penerbit, pengarang atau penerjemah dengan syarat untuk menyebarluaskan ilmu, bukan untuk diperjual belikan.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: هُمْ عِنْدِيْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
رواه الخطيب في شرف أصحاب الحديث (42) بسند صحيح
Rasulullah saw bersabda: Akan senantiasa ada sekelompok orang di antara ummatku yang menampakkan kebenaran, orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan mencelakainya sehingga datangnya hari kiamat.
Ibnu al-Mubarak berkata: Mereka itu menurutku adalah ashabu al-hadis
Riwayat al-Khathib dalam Syarf Ashabi al-Hadis no. 42 dengan sanad yang shahih
A. Definisi Ulumul Hadis
Definisi
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدَ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِي
Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan)
Ada pendapat lain yang menyatakan
هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Ilmu Hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan
Penjelasan Definisi
Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan
Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Contoh-contoh
Al-Bukhari meriwayatkan hadis berikut, di dalam kitabnya yang ber-nama ash-Shahih, Bab Kayfa kana bad’ al-wahyi ila Rasulillah saw, j. 1, h. 5
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan
Yang dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْر،ِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Sedangkan matan pada hadis di atas adalah;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dla’if.
B. Definisi Hadis, Khabar Dan Atsar
Definisi
الْحَدِيْثُ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَوَاءً كَانَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat
الْخَبَرُ مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِهِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
الأَثَرُ مَا جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الصَّحَابَةِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi saw, yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi setelah mereka
Contah-contoh
Contoh hadis qouly (perkataan)
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu dengan niat
Contoh hadis fi’ly (perbuatan) adalah hadis dari Aisyah ra.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
Nabi saw apabila akan tidur, sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau berwudlu seperti wudlu untuk shalat
Contoh hadis taqriry (persetujuan) adalah hadis dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْناً وَأَضْبًا وَأَقْطاً فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ مِنَ الْأَقْطِ وَتَرَكَ الْأَضْبَ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَوْ كَانَ حَرَاماً مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa bibinya memberi hadiah kepada Rasulullah saw berupa mentega, daging biawak dan keju, lalu beliau memakan mentega dan keju dengan meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, tetapi daging itu dimakan di meja makan rasulullah saw, seandainya haram maka tak akan dimakan di meja Rasulullah saw
Contoh hadis sifat, yaitu hadis yang memuat sifat pribadi nabi saw, adalah hadis dari Anas ra;
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ حَسَنُ الْجِسْمِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ أَسْمَرُ اللَّوْنِ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ
Rasulullah itu tingginya sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tubuhnya bagus, rambutnya tidak keriting dan tidak lurus, warnanya coklat, apabila berjalan rambutnya bergoyang.
C. Hadis Sahih
Definisi Hadis Shahih
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadis sahih adalah hadis yang mengandung syarat-syarat berikut;
1. Hadisnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadis tersebut dinisbahkan kepada nabi saw dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di depan.
Sanadnya bersambung, bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung dari gurunya
Para rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam sanad itu memiliki sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil dan dhabith?
Adil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah .
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dlabith ini ada dua macam, yaitu;
1. Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya .
2. Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.
Tidak ada syadz. Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadis dari periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Tidak ada illah, Di dalam hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadis. Tentang hadis mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri .
Contoh Hadis Sahih
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya j.4 h.18, kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadis tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, karena.
1. Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
2. Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadis ini dari gurunya.
3. Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a. Anas bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat dinilai adil.
b. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
c. Mu’tamir, dia siqah
d. Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.
e. Al-Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadis.
4. Hadis ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5. Hadis ini tidak ada illah-nya
Dengan demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di dalam kitabnya ash-Shahih.
D. Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadis nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri al-Madani (rahimahullah)
Shalih bin Kaisan berkata, “Aku berkumpul dengan az-Zuhri ketika menuntut ilmu, lalu aku katakan, ‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami menulis khabar (berita) yang datang dari Nabi saw. Kemudian az-Zuhri mengatakan, ‘Mari kita tulis yang datang dari shahabat, karena ia termasuk sunnah juga’. Aku katakan, ‘Itu bukan sunnah, sehinga tidak perlu kita tulis’. Meski demikian az-Zuhri tetap menuliskan berita dari shahabat sedangkan aku tidak, akhirnya dia berhasil sedangkan aku gagal” .
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra merasa khawatir akan merosot dan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan hadis Rasulullah saw seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis Rasulullah saw atau sunnah, atau hadis dari ‘Amrah , maka tulislah karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama’ ”
Ibnu Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian setelah az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode penulisan yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan mustakhraj. Imam as-Suyuthi, dalam hal ini mengatakan di dalam kitabnya Alfiyah,
Orang pertama yang mengumpulkan hadis dan atsar adalah Ibnu Syihab
atas perintah ‘Umar
Dan yang pertama-tama mengumpulkan hadis berbab-bab,
adalah sekelompok ulama’ di masa yang tak jauh (setelahnya)
Seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Malik,
Ma’mar, dan anak (Ibnu) al-Mubarak
E. Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Kemudian setelah generasi mereka muncul imam huffadz dan amirul mukminin fil hadis, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih dalam satu kitab hadis yang diseleksi dari 100 ribu hadis sahih yang beliau hafalkan. Disebutkan di dalam suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100 ribu hadis sahih, dan 200 ribu hadis yang tidak sahih”
Adapun gagasan yang membangkitkannya untuk menulis kitab Jami’ ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq bin Rahawiyah, lalu sebagian kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau mengumpulkan sebuah kitab ringkas tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu terbetiklah di dalam hatiku keinginan untuk menuliskannya, lalu aku mengambil keputusan untuk mengumpulkan hadis shahih di dalam kitab ini”
Kemudian muridnya, dan pengikut metode beliau al-Imam, huffadz al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyan al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah) mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo 15 tahun .
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata , “Para ulama’ sepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan ummat menerima keduanya”
Hanya saja sebagian ulama’, seperti ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadis di dalam kedua kitab tersebut, .
Tetapi kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’ seperti an-Nawawy di dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari. Dan di antara tokoh yang zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, beliau telah menulis sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina al-Imamain Muslim wa ad-Daruquthny. Kitab tersebut berisi pembelaan terhadap Shahih Muslim dari para pengritiknya.
F. Al-Mustakhraj Terhadap Kitab ash-Shahihain
Definisi
Al-Mustakhraj adalah suatu kitab hadis yang ditulis oleh seorang ulama’ dengan mentakhrijkan (menuliskan riwayat) hadis-hadis yang sudah dibukukan di dalam suatu kitab hadis dengan sanadnya yang sama tetapi dari jalan yang lain dari pengarang kitab mustakhraj ‘alaih (yang dimustakhrajkan), lalu periwayatan mereka bertemu pada gurunya (penulis kitab yang dimustakhrajkan) atau guru yang lebih tinggi, sampai kepada shahabat.
Syaratnya, tidak sampai kepada syaikh dengan jalan yang lebih panjang sehingga menghilangkan sanad yang menghantarkan kepadanya yang lebih dekat, kecuali dengan alasan uluw (ketinggian) atau ada ziyadah (tembahan) yang penting. Bisa jadi Mustakhraj menggugurkan hadis-hadis yang sanadnya yang tidak memuaskan dan bisa pula menyebutkan hadis-hadis itu dengan jalan penulis kitab yang dimustakhrajkan.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.1, h.222, Kitab ath-Thaharah, Bab Khishol al-Fithrah;
حَدَّثَنِي أَبُوْ بَكْر بْنُ إِسْحَاق أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جروا الشوارب وأرخوا اللحي وخالفوا المجوس
Telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Ishaq, Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Hadis ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim j.1, h.188, dan dalam sanadnya terjadi pertemuan dengan sanad Imam Muslim pada guru beliau, yakni Ibnu Abi Maryam. Bandingkan hadis tersebut dengan hadis berikut ini!
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاق الصَّغَانِي قال أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احفوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْيَ وَخَالِفُوا الْمَجُوْسَ
Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, ia berkata; Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Bukanlah suatu yang sangat urgen untuk menyebutkan sama persis antara matan (teks hadis) yang ada di dalam kitab al-Mustakhraj dengan matan yang ada di dalam kitab ash-Shahih (yang disebut juga al-mustakhraj ‘alaih), sebagaimana yang terlihat di dalam contoh di atas.
Demikian juga, kadang-kadang hadis di dalam kitab al-Mustakhraj ada ziyadah (tambahan) matan, tidak sebagaimana yang tertulis di dalam kitab ash-Shahih. Untuk itu apabila di dalam al-Mustakhraj salah satu kitab ash-shahihain terdapat ziyadah, kita tidak secara otomatis menganggap tambahan matan itu sahih sehingga diadakan peninjauan terhadap sanadnya.
Kitab-kitab Al-Mustakhraj.
Sejumlah ulama’ yang berminat untuk menuliskan al-Mustakhraj antara lain;
1. Mustakhraj al-Isma’ily,
2. Mustakhraj al-Ghithrify,
3. Mustakhraj Ibnu Abi Dzuhal.
Ketiga kitab tersebut adalah mustakhraj kitab Shahih al-Bukhari. Adapun kitab-kitab Mustakhraj untuk Shahih Muslim adalah;
1. Mustakhraj Abu Awanah,
2. Mustakhraj al-Hairy,
3. Mustakhraj Abu Hamid al-Harawy.
Dan di antara kitab Mustakhraj kedua kitab Shahih, adalah;
1. Mustakhraj Abu Nu’aim al-Ashbahany,
2. Mustakhraj Ibnu al-Akhram,
3. Mustakhraj Abu Bakar al-Barqany
G. Sekilas Tentang Kitab-kitab Sunan
Para pelajar hendaklah mendalami kitab-kitab sunan seperti Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Musnad karya Imam Ahmad.
Yang dimaksud dengan Kutub as-Sittah; adalah ash-Shahihain, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadis marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf .
* * *
1. SUNAN ABU DAWUD
Penyusunnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Azdi as-Sijistani. Beliau mengkhususkan kitabnya dengan hadis-hadis hukum, di dalamnya tidak terdapat kitab zuhud dan fadha-ilul a’mal. Di dalam surat beliau kepada penduduk Makkah, dalam mengomentari kitabnya sendiri (h.34), beliau berkata, “Dan tidaklah aku menyusun di dalam kitab as-Sunan ini melainkan hadis-hadis hukum, tidak aku masukkan kitab zuhud, fadha-ilul a’mal dll”
Kitab beliau yang bernama as-Sunan adalah salah satu kitab yang sangat dibutuhkan, hanya saja beliau tidak mempersyaratkan derajat sahih untuk hadis yang tercantum di dalamnya. Sehingga di dalamnya berisi hadis sahih, hasan, shalih, dla’if, dan munkar.
Beliau juga tidak mempersyaratkan disebutkannya semua hadis tentang suatu bab, tetapi hanya dipilihkan yang bermanfaat saja, dan kadang-kadang beliau menyebutkan satu hadis dari jalan yang berbeda-beda karena ada ziyadah, baik dalam matan maupun sanad. Dan kadang-kadang pula dibicarakan pada sebagian hadis tentang i’lalnya, menyebutkan ikhtilaf (perbedaan) perawinya.
Beliau telah membicarakan kitab Sunannya secara terperinci di dalam surat yang beliau tulis untuk penduduk Makkah. Ini adalah surat yang sangat bermanfaat, semoga Allah swt. Memberikan rahmat kepada beliau dengan rahmat yang luas.
* * *
2. JAMI’ AT-TIRMIDZI
Penyusunnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, bin Musa bin adh-Dlahhak as-Sulami, al-Bughi, at-Tirmidzi. Beliau mengalami kebuta-an di akhir usianya.
Sebagaimana yang telah saya baca di dalam suatu manuskrip kitab Jami’ yang mu’tamad, yang benar kitab Imam Tirmidzi bernama al-Jami’ al-Kabir. Kemudian ada yang menyebutnya secara berlebihan dengan nama al-Jami’ ash-Shahih, tetapi nama inilah yang masyhur. Hanya saja, di dalam kitab ini terdapat sejumlah hadis dla’if, munkar, dan maudlu’.
Tirmidzi adalah murid Imam Bukhari, dan pengikut beliau dalam metode penulisan hadis. Beliau juga banyak menukil pendapat Imam Bukhari dalam membicarakan kondisi periwayat, sima’ (cara mereka mendengarkan hadis), dan i’lal terhadap hadis periwayat tersebut.
Metode penulisan Kitab Jami’ ini berbeda dengan metode yang digunakan oleh Abu Dawud dalam menuliskan kitab Sunan, khususnya at-Tirmidzi memasukkan bab-bab tentang zuhud dan fadha-ilul a’mal, bab yang tidak dicantumkan di dalam Sunan Abu Dawud.
Kitab ini adalah kitab yang menyeluruh, besar manfaatnya, terkumpul di dalamnya ilmu riwayah hadis, dirayah, i’lal, ahwal rijal, dan madzhab-madzhab ahli ilmu dalam bab fiqh. Hanya saja at-Tirmidzi di dalam kitabnya ini menggunakan istilah-istilah tersendiri untuk menyebut status kualitas hadis-hadisnya. Tindakan ini memungkinkan terjadinya perbedaan pengertian dengan para ulama’ lainnya. Istilah itu antara lain hasan sahih, hasan gharib, hasan sahih gharib, atau hasan laisa isnaduhu bidzalika al-qaim (hasan tetapi sanadnya tidak lurus).
Di dalam buku ini bukan tempatnya untuk menjelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut. Saya telah membahasnya secara sederhana di dalam Syarah (penjelasan) terhadap kitab al-Mauqidhah karya adz-Dzahabi, dan al-Hasan fi mizan al-Ihtijaj. Dan kadang-kadang at-Tirmidzi terlalu sembrono dalam menentukan status tersebut, dengan segala perbedaannya, sebagaimana telah saya jelaskan di dalam beberapa tulisan.
Secara umum kitab ini termasuk kitab yang sangat bermanfaat.
* * *
3. SUNAN AN-NASA’I
Penyusunnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar Abu ‘Abdurrahman an-Nasa’i.
Di dalam kitab sunan ini terdapat hadis sahih, dla’if, dan sangat dla’if.
Adalah suatu kesalahan apabila ada yang menganggap hadis dalam Sunan an-Nasa’i semuanya sahih. Di dalam kitab ini ada ungkapan terhadap sebagian hadis yang tidak difahami dengan baik kecuali oleh orang yang telah diberikan ilmu dan pengetahuan oleh Allah. Di dalam kitab ini terdapat pembahasan tentang i’lal dan perbedaan pendapat. Kitab ini terhadap kitab-kitab sunan bagaikan satu mutiara di dalam untaian permata
Apabila disebut Sunan an-Nasai saja maka yang dimaksudkan adalah Sunan al-Mujtaba, yaitu sunan karya beliau yang Sughra, Beliau juga memiliki Sunan Kubra. Kitab al-Mujtaba bukanlah kitab hasil ringkasan murid beliau, Ibnu as-Suni, sebagaimana didakwakan oleh sebagian ulama. Al-Mujtaba’ adalah karya beliau dan hasil seleksi beliau. Allahu a’am.
* * *
4. SUNAN IBNU MAJAH
Penyusunnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, ar-Rabi’iy al-Qazwainiy.
Kitab beliau ini cukup bermanfaat, hanya saja kedudukannya di bawah lima kitab hadis terdahulu. Di dalam kitab ini terdapat banyak hadis-hadis dla’if, dan sejumlah hadis.
Catatan;
Apabila ahli hadis mengatakan, “Hadis yang diriwayatkan atau dikeluarkan oleh as-Sittah” maka maksud dari ungkapan tersebut adalah hadis yang dicantumkan di dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
Dan apabila dikatakan, “Diriwayatkan atau dikeluarkan oleh al-Arba ’ah”, maka yang dimaksudkan adalah Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
* * *
5. MUWATHTHA’ IMAM MALIK
Kitab Muwaththa’ adalah, kitab yang ditulis dengan urutan sesuai bab-bab fiqh, hanya saja berbeda dengan kitab Sunan dari segi kandungan kadis marfu’, mauquf dan maqthu’
Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amru bin al-Harits, Abu Abdillah al-Madaniy, syaikhul Islam, dan Imam Darul Hijrah.
Muwaththa’ memuat hadis sahih yang jumlahnya sangat besar, dan sedikit hadis dla’if. Di dalamnya terdapat kata mutiara yang tidak ada hukumnya kecuali apabila jelas sanadnya.
Tentang kitab ini Imam Syafi’i berkomentar, “Aku tidak mengatahui adanya kitab yang paling sahih setelah kitabullah, selain dari muwatha’ karya Imam Malik”. Komentar Imam syafi’i ini dikemukakan sebelum adanya kitab shahih Bukhari dan Muslim. Sebab ummat telah sepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Alqur’an adalah shahihaini.
Di dalam kitab al-Muwaththa’ ada pendapat-pendapat dan hukum-hukum menurut imam Malik yang harus dipegangi dengan kuat.
* * *
6. MUSNAD IMAM AHMAD
Musnad adalah kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat, lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun, dengan mengesampingkan tema hadis.
Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas, paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Ada yang mengatakan, kitab ini memuat sekitar 40.000 hadis, ada yang menyebutkan 30.000 hadis, atau mendekati angka tersebut. Sesungguhnya naskah Musnad Imam Ahmad yang sudah dicetak berulang-ulang kandungan hadisnya mencapai 27.688 buah hadis. Allahu A’lam bish-Showab.
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if, bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudlu’, meskipun hanya sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’ di dalam kitab ini.
Kitab ini merupakan salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh ummat Islam. Penyusun memulai kitabnya dengan musnadnya 10 orang shahabat yang telah dijanjikan sorga, didahulukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, kemudian shahabat yang lainnya yang termasuk sepuluh itu. Kemudian disebutkan hadis Abdurrahman bin Abu Bakar, kemudian tiga hadis dari tiga orang shahabat, kemudian musnad ahlul Bait,dia menyebutkan hadis-hadis mereka, demikian seterusnya sampai tuntas dengan hadis Syidad bin al-Had ra .
H. Soal-Soal Diskusi
1. Apa perbedaan antara:
a. Atsar dan Khabar
b. Hadis washafy dan hadis Qauli
c. Sunan dan Mustakhraj
d. Musnad dan Muwaththa’
2. Definisikanlah istilah-istilah berikut ini:
a. Hadis
b. Hadis sahih
c. Kedhabithan dan keadilan
3. Jawablah pertanyaan berikut ini:
a. Ada berapa macamkah pembagian dlabith itu? Berikan penjelasan terhadap masing-masing bagian!
b. Apa hukum ziyadah terhadap hadis shaihaini di dalam kitab Mustakhraj?
c. Siapakah yang pertama kali memberikan perhatian terhadap usaha pembukuan hadis nabi?
4. Apakah perbedaan antara Muwaththa’ dengan Shahih Bukhari dan Muslim. Jelaskan manakah di antara ketiganya yang paling sahih?
I. Hadis Hasan
Definisi
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih , hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih. Dalam hal ini syarat hadis sahih adalah;
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadis hasan tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih. Periwayat hadis hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq (jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Contoh hadis hasan; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar” Hadis ini sanadnya hasan.
Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
J. Hadis Shahih Lighairihi
Definisi
الْحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ، وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ مِنْ ذَاتِ السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadis hasan lidzatihi apabila diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadis shahih lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi karena bergabung dengan sanad yang lain .
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat; Maksudnya adalah ada riwayat dengan sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan yang lebih kuat; yaitu hadis sahih lidzatihi
Dinamakan hadis shahih lighairihi; menjadi hadis sahih karena bergabungnya dua jalan.
Keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri; Maksudnya ketetapan-nya sebagai hadis sahih tidak didasarkan pada satu sanad saja, melainkan karena digabungkannya dengan sanad yang lain yang sama atau lebih kuat.
K. Hadis Dla’if
Definisi
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis sahih)
Penjelasan Definisi
Tidak terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah dibahas, antara lain;
1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2. Sanadnya bersambung
3. Rawinya ‘adil dan dlabith
4. Tidak mengandung syadz
5. Tidak ada illah
Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis; Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.
Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.
Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk
Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
L. Pembagian Hadis Dla’if
Hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;
1. Hadis yang kedla’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadlis.
2. Apabila tingkat kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if berat, dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali (69) dengan jalan;
عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini adalah maudlu’, karena kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252) dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.
Di dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan hadisnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.
M. Hadis Hasan Lighairihi
Definisi
الضَّعِيْفُ الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya, apabila jalannya banyak
Ada pula yang mendefinisikan dengan;
مَا كَانَ ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu dikuatkan dengan hadis yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan Definisi
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya; yaitu hadis yang datang dengan sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’ atau lebih yang semisal atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Bazar di dalam kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawaid (10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7), Abdul Ghina al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ فِي فَضَائِلِ رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga kemudian mengucap, “Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”…… Hadis tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah bin Wardan adalah rijal yang dla’if, dalam hal hafalan, dia meriwa-yatkan beberapa hadis dari Anas bin Malik yang tidak sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah, hanya saja kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Hadis ini diikuti oleh Tsabit al-Banani, yang juga meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (h.4). Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan yang ringan juga. Di dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il, yang hafalannya juga lemah.
Dengan bergabungnya dua jalan ini, hadis tersebut menjadi hasan.
N. Soal-soal Diskusi
1. Definisikan berikut ini
a. Hadis Hasan Lidzatihi
b. Hadis Shahih Lighairihi
c. Hadis Hasan Lighairihi
2. Apa perbedaan antara hadis shahih lighairihi dengan hadis hasan lighairihi?
3. Manakah yang lebih kuat di antara jenis-jenis hadis berikut ini?
a. Hasan lidzatihi dan hasan lighairihi
b. Shahih lighairihi dan hasan lighairihi
c. Shahih lidzatihi dan hasan lighairihi
4. Apa yang dimaksud dengan dla’if ringan dan dla’if berat?
O. Hadis Dla’if Karena Cacat pada Sanad
1. Mursal
Definisi
مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf (5281)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum”
Atha’ dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.
Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dla’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan hadis mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedla’ifannya atau lebih sahih darinya selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
2. Munqathi’
Definisi
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
Penjelasan Definisi
Apabila di tengah-tengah rangkaian sanadnya ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih selama tidak terputus secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada generasi di bawah tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi setelahnya. Sedangkan apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka namanya mursal.
Contoh; Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan (3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ الْقُنُوْطِ
Musa bin Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari al-Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadis tentang do’a qunut.
Sanad hadis ini inqitha’. Al-Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab at-Talkhish al-Khabir (1/264), “Abdullah bin ‘Ali adalah Ibnu al-Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan al-Hasan bin Ali”
3. Mu’dlol
Definisi
مَا سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ رَاوِيَانِ أَوْ أَكْثَرُ بِشَرْطِ التَّوَالِي
Apabila dari sanadnya hilang dua rawi atau lebih dengan syarat secara berurutan
Penjelasan definisi
Hilang dua rawi atau lebih, yang dimaksudkan adalah para rawi di atas guru penyusun kitab .
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذُكِرَ لَنَا أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسَرِ الْعَجَمِ
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda, kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)
Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi, Riwayatnya dari tabi’in besar sangat agung, Pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang rawi, yaitu seorang tabi’in dan seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dlol. Dan hadis mu’dlol derajatnya di bawah mursal dan munqathi’, karena banyaknya rawi yang hilang dari sanad secara berurutan.
4. Muallaq
Definisi
مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ
Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang periwayat atau lebih dan seterusnya sampai akhir sanad.
Penjelasan Definisi
Awal Sanad, dihitung dari penyusun kitab.
Seorang rawi atau lebih, yaitu gurunya penyusun kitab, gurunya sang guru, dan seterusnya dihilangkan sanadnya
Sampai akhir sanad, tempat dimana dikatakan, “Rasulullah saw bersabda”, atau “Diriwayatkan dari Rasulullah saw”
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ مَالِكٌ، أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَّارٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلْفَهَا، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصِ الْحَسَنَةِ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِئَةٍ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا، إِلاَّ يَتَجَاوَزُ اللهُ عَنْهَا
Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.
Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik melalui perantara seorang rawi.
Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Ja’a fi Ghusli al-Baul, (1/51)
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِ الْقُبْرِ: كَانَ لاَ تَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu dia tidak mem-bersihkan kencingnya.
Al-Bukhari menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi saw bersabda”.
Hukum Hadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain
Hadis Mu’allaq adalah dla’if yang tidak bisa digunakan untuk menjadi hujjah, karena hilangnya seorang rawi atau lebih. Tetapi apa hukumhadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain.
Adapun Mu’allaq yang ada di dalam Shahih Muslim, jumlahnya hanya sedikit saja dibandingkan dengan hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahih al-Bukhari. Hadis Mu’allaq di dalam Shahih Muslim jumlahnya hanya tiga belas hadis, sebagian di antaranya telah disebutkan secara bersambung oleh Muslim sendiri. Sebagian lagi disebutkan secara bersambung oleh ulama’ hadis yang lain. Dan sebagian yang lain disebutkan disebutkan sebagai tabi’ dan syahid.
Hukum hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahihain adalah;
1. Riwayat yang disebutkan dengan kalimat positif, seperti dalam ungkapan, “Fulan berkata”, “Fulan menyebutkan”, “Fulan mengisahkan”, atau “Fulan meriwa-yatkan”. Maka riwayat itu sahih sampai kepada orang yang ia ta’liqkan itu. Sedangkan sanad yang lain tetap perlu diteliti, karena bisa jadi sanad itu sahih dan bisa pula dla’if.
Contoh; riwayat yang disebutkan mu’allaq oleh Bukhari dari Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudriy, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hadis ini dimu’allaqkan oleh al-Bukhari dengan ungkapan yang pasti dari Imam Malik, yaitu “Malik berkata”. Hadis ini sahih dari riwayat Imam Malik. Tetapi rawi lainnya perlu diteliti ‘adalah dan dlabthnya, serta syarat-syarat kesahihan yang lain.
Contoh lainnya, hadis yang dimu’allaqkan oleh al-Bukhari dari Nabi saw tenang adzab kubur. Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dia tidak membasuh kencingnya.. Al-Bukhari menegaskan dari Rasulullah saw, artinya riwayat itu benar dari Rasulullah saw sebagaimana disebutkan secara bersambung di beberapa tempat di dalam kitab Shahihnya
2. Hadis mu’allaq yang disebutkan dalam bentuk kalimat negatif, seperti dalam ungkapan, “Diriwayatkan dari si Fulan”, “Disebutkan dari si Fulan”, atau “Dikatakan…”. Ungkapan ini terasa lemah bagi ahli hadis sampai kepada orang yang dimu’allaqkannya
Contoh; Hadis yang dimu’alaqkan oleh al-Bukhari di dalam kitab ash-Shahihnya (1/74-75), Kitab ash-Shalat, Bab: Wujub ash-Shalat fi ats-Tsiyab.
وَيُذْكَرُ عَنْ سَلَمَةِ بْنِ اْلأَكْوَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَزُرُّهُ وَلَوْ بِشَوْكَةٍ فِيْ إِسْنَادِهِ نَظْرٌ
Disebutkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Nabi saw bersabda, “bersarunglah meskipun dengan duri. Rawi di dalam sanadnya perlu diteliti.
Catatan;
Di sini perlu diberikan catatan, bahwa al-Bukhari kadang-kadang memu’allaqkan hadis dari gurunya dengan kalimat positif, maka tidak perlu dianggap adanya rawi yang hilang antara beliau dengan gurunya. Dan menurut ahli ilmu hal ini dianggap sebagai muttashil, kecuali ibnu Hazm adh-Dhahiriy, ia berbeda pendapat dengan yang lainnya dan berkata, hadis itu termasuk munqathi’ (terputus)
Di antara contoh hadis seperti itu adalah; Imam al-Bukhari berkata di dalam ash-Shahih, Kitab al-Asyribah, Bab: Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamra wa Yusmiihi Bighairi Ismihi (3:322),
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ، قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ - أَوْ أَبُو مَالِكٍ- الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي، سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ، فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Telah berkata Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami shaqadoh bin Khalid, telah bercerita kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilabi, Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ghanam al-Asy’ari, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Abu Amir –disebut juga dengan Abu Malik- al-Asy’ari, Demi Allah, ia tidak menipuku, ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Akan ada di antara ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan dawai. Dan sungguh akan turun suatu kaum di dekat gunung, mereka membawa gembalaan mereka. Lalu ada orang fakir mendatangi mereka karena ada keperluan. tetapi mereka mengatakan, “Datanglah kepada kami besok. Lalu Allah menidurkan mereka, dan menimpakan gunung (kepada sebagian mereka) dan mengubah lainnya menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.
Hisyam bin ‘Ammar termasuk guru al-Bukhari yang pernah ditemuinya secara langsung, didengar hadisnya, bahkan dia mengajarkan pula hadis darinya, maka menta’liqkan hadis darinya tidak berarti terputus sama sekali. Wallahu a’lam
5. Mudallas
Definisi
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadis) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadis yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari” atau “ia berkata”
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari al-Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam kitab al-Jami’, dengan jalan;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku mendengar rasulullah saw bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadis tersebut dengan sanad (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadis dengan matan seperti di atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan hadis ini dari Ibnu ‘Ajlan .
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah disebutkan di atas.
Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadis-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah. Hal itu dilakukan karena kedla’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi saw, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadis ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadis” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “hadisnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”, yang dimaksudkan dengan kata al-Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh al-Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau al-Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadis di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan mengajarkan hadis kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadis dari orang yang kedua.
Contoh, Hadis yang disebutkan oleh al-Hakim di dalam ‘Ulum al-Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis- pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadis yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadis yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadis mengatakan haddatsana (telah mengajarkan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadis dari Hisyam.
Contoh, hadis yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam al-Kamil fi adl-Dlu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadis darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedla’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadis tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah al-Walid bin Muslim dan Baqiyah bin al-Walid.
Hukum ‘An‘anah seorang mudallis
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadis dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadis secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadis. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan hadisnya dan menguji riwayatnya.
Tingkatan Mudallis
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
1- Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id al-Anshari
2- Orang yang tadlisnya ringan, dan hadisnya masih disebutkan di dalam kitab ash-Shahih karena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
3- Orang yang hadisnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa hadisnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi dan Abu Ishaq as-Sabi’i
4- Orang yang disepakati oleh ahli hadis untuk tidak berhujjah dengan hadisnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
5- Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, hadisnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab al-Kalbiy dan Abu Sa’id al-Biqal
Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara keduanya dalam hal tidak mendengar hadis dari orang yang disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Dalam meriwayatkan hadis itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia berkata”.
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran al-A’masy, dari Anas bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak menerima hadis darinya. Ia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik yang dia dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin al-Madiniy berkata; al-A’masy tidak pernah menerima hadis dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakan mursal, bukan mudallas, meskipun al-A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan al- Basri, ia melihat Utsman bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan al-Basri sama sekali tidak mendengar hadis yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu periwayatan Hasan al-Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal terletak pada cara sima’nya seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadis darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
Tambahan; Perbedaan antara Tadlis dan Irsal.
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadis secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis- maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin li Asma’ al-Mudallisin, karangan Burhanuddin al-Halabiy.
- Ta’rif Ahlu at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi-at-Tadlis, karangan al-Hafidz Ibnu Hajar.
- Jami’ at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, karangan al-Hafidz Shalahuddin al-‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadlilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
Soal-soal Diskusi
1. Sebutkan definisi masing-masing istilah berikut ini ;
a. Irsal
b. Tadlis
c. I’dlal
2. Apa perbedaan antara istilah-istilah berikut ini
a. Tadlis dan irsal khafi
b. Tadlis Syuyukh dan tadlis bilad
c. Tadlis ‘Athf dan Tadlis sukut
3. Apakah hadis mu’allaq itu?
4. Hadis-hadis Mu’allaq yang terdapat di dalam kitab Shahihaini dibagi menjadi berapa bagian? Dan apa hukum masing-masing bagiannya?
Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi
Telah kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya suatu hadis adalah para rawi memiliki sifat ‘adalah dan dlabth. Dan juga telah kita bicarakan bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, fasik dan bid’ah. Cacat pada keadilan disebabkan oleh empat hal, yaitu
a. Dusta
b. Tertuduh berdusta
c. Tidak dikenal (Jahalah)
d. Bid’ah
Pada bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya –atau sebagian di antara para rawinya.
1. Maudlu’
Definisi
مَا كَانَ رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ
Apabila rawinya pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].
Penjelasan Definisi;
Rawinya pendusta, maksudnya salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.
Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
مُحَمَّدٌ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh lain, Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no. 2) dari jalan sebagai berikut
عَنْ زِيَادُ بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan”
Di dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi, ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw
Yazid bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu ia berkata, Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.
Hukum meriwayatkan hadis maudlu’
Meriwayatkan hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.
Hadis maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’. Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.
2. Hadis Matruk
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ
Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta
Sebagian ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham (tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.
Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui;
جُوَيْبِرْ ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.
Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.
Catatan;
Sebagian rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula yang menyebut wah (lemah) dan lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’. Allahu A’lam.
Pembahasan Tentang al-Jahalah
Adanya rawi yang tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab ditolak-nya suatu riwayat. Jahalah terbagi menjadi dua bagian;
1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya
Di antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362), “Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga, dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh.
2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak mengemukakan jarh wa ta’dilnya.
Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak dianggap siqah
Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?
Mayoritas ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul hal ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang membedakan antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih ringan daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat, maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah (adanya penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke dalam kategori berat.
Contoh Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),
حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu Luhai’ah menceritakan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash, dari Saib bin Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa Nabi saw apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya dengan kedua tangannya.
Hafsh bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Contoh hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari
شَرِيْكٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual
Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.
3. Hadis Mubham
Definisi
الْمُبْهَمُ مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ
Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan jalan
عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa penipu lagi keji
Rawi di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau penyakit, juga termasuk mubham.
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari
مَحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي اْلأَنْصَارِي أَنَّ رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ
Muhammad bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis tentang shalat tasbih.
Hukum Hadis Mubham
Hadis Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena semua shahabat itu adil.
Mubham matan.
Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat pada sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw, beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah, dan mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita, yang kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal
Disembunyikannya nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.
Pembahasan Tentang Bid’ah
Bid’ah sebagaimana telah saya sebutkan pada sebab-sebab dlaif karena cacat pada keadilan rawi. Tetapi apakah hadis dari orang yang melakukan bid’ah tertolak secara mutlak ataukah ia bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Hal ini secara terperinci akan dibahas pada bagian kedua dari buku ini, yaitu dalam Jarh wa Tadil untuk pemula
Soal-soal Diskusi
1. Apa sebab-sebab yang meniscayakan cacat pada keadilan rawi?
2. Definisikan berikut ini
a. Hadis Maudlu
b. Hadis Matruk
3. Apa perbedaan antara hal-hal berikut ini
a. Jahalah Hal dan Jahalah ain
b. Mubham sanad dan Mubham matan.
Hadis Dla’if karena Kelemahan pada Kedlabithan Rawi
Dlabt, sebagaimana yang telah didefinisikan terdahulu adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya
Dan telah kami sebutkan bahwasannya dlabth merupakan salah satu syarat kesahihan hadis, apabila rawi mengalami sedikit kekurangan pada akurasinya (dlabth) dibandingkan dengan periwayat hadis sahih, maka hadisnya menjadi hasan.
Adapun apabila kurangnya akurasi menyebabkan banyaknya kesalahan di dalam periwayatan maka hadisnya menjadi dla’if yang tertolak.
Akurasi periwayat diketahui dari kesesuaiannya dan perselisihannya dengan rawi lainnya yang siqah. Apabila riwayat seorang rawi sesuai dengan riwayat para rawi yang siqah, bahkan hampir tidak ada perbedaan, maka ia dikatakan dlabith, dan dia termasuk rawi yang sahih.
Apabila kesesuaiannya terdapat pada kebanyakan riwayatnya, dan ada beberapa riwayat yang berbeda dengan periwayatan rawi yang siqah, maka derajat periwaya-tannya ada di bawah derajat sahih, dan hadisnya diketegorikan hadis hasan.
Apabila perbedaan riwayat lebih banyak terjadi dari pada kesamaannya maka ia menjadi dla’if, dan hadisnya tertolak, kecuali apabila ada tabi’nya. Dengan adanya tabi’ maka hadisnya menjadi hasan, sebab adanya akumulasi jalan sanad .
Apabila seorang rawi terbiasa berbeda dengan periwayatan rawi yang sahih, dan sangat sedikit kesamaannya maka ia dikatakan banyak kesalahan, sehingga hadisnya matruk dari segi hafalannya.
Hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi semacam ini –yang sedikit dlabthnya- dikelompokkan menjadi bermacam-macam tingkat sesuai kadar kelemahannya, Jenis-jenis inilah yang akan kami jelaskan pada bab-bab selanjutnya.
1. Hadis Munkar
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat.
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if; Maksudnya, adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat, atau yang setingkat apabila kedla’ifannya ringan.
Bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat; dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadis dalam bentuk yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) al-Bazzar di dalam Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari an-Nadlr bin Syaiban
حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شَيْبَانَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدِّثْنِي بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ بَيْنَ أَبِيكَ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku hadis yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku, Rasulullah saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya. Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya
Pada sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi yang dla’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu ketika ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis dari ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.
Yang kedua, hadis seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang siqah (terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh), seperti Yahya bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan teks;
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul qadr dengan keimanan dan perhitungan maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu
Dengan demikian An-Nadlr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih terpercaya dan lebih banyak sanad hadis dan matannya. Dan hadis dari jalannya adalah munkar.
Contoh lain; Hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’ (3386) dengan jalan dari Hammad;
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْجُمَحِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa al-Juhani, dari Handhalah bin Abu Sufyan al-Juhami, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah saw apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap wajah beliau dengan kedua tangannya.
Setelah mengeluarkan hadis ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis gharib, aku tidak menjumpainya kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya seorang diri”
Hammad bin Isa adalah dla’if hadisnya, Abu Hatim berkata, “Dia dla’if”. Abu Dawud berkata, “Dia dla’if, dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar”. Al-Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudlu’ dari Ibnu Juraij dan Ja’far ash-Shadiq”
Dengan demikian hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang diri termasuk hadis munkar.
CATATAN
Dalam bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…
Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita sebutkan bahwa ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak para imam terdahulu menyebut hadis maudlu’ dengan nama munkar, karena pembedaan antara munkar dan maudlu’ ini terjadi pada ulama’ mutaakhkhirin.
Kedua; Sebagian ahli hadis menyatakan tentang munkarnya hadis gharib, lalu mengatakan “Ini adalah hadis gharib, maksudnya adalah hadis munkar, sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadis maudlu’.
Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja, tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan suatu hadis dengan teks tertentu, dan ada rijal dla’if yang meriwayatkan hadis dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadis dari an-Nadlr bin Syaiban (contoh 1)
Atau sejumlah rijal yang siqah meriwayatkan hadis, dan rijal yang dla’if meriwayatkan hadis dengan teks yang sama, hanya saja ia memberikan ziyadah (tambahan) pada matan hadis, dengan suatu tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah.
Contoh. Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/101,282), Bukhari (1/40), Muslim (1/283), Abu Dawud (4-5) Tirmidzi (5-6) an-Nasa’I dalam al-Yaum wa al-Lailah (74) dan lain-lainnya dengan jalan dari Abdul Aziz bin Shuhaib
عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia berkata; Nabi saw apabila memasuki wc berkata, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Tetapi di dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan jalan dari Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dla’if hadisnya, dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi saw apabila memasuki wc membaca do’a,
بِسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Dengan nama Allah, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Hadis ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah, hanya saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka tambahan ini munkar.
Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang hadisnya dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi yang dla’if, seperti hadis Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah hafidh hanya saja riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya ketika masih sangat kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadis yang menguatkan) dari rijal yang siqah, maka periwayatannya seorang diri itu dinilai munkar.
Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah derajat siqah dalam hal dlabth sehingga hadisnya dinilai hasan, kadang-kadang hadisnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya, hadis yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350) dengan jalan dari Hammad bin Salamah
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, bersabda; Apaila salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.
Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, hadisnya hasan dalam riwayat yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Dia telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis Abu Salamah. Ibnu Ma’in berkata, “Ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya, kemudian meriwayatkan hadis itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadis ini seorang diri dari Abu Salamah, dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadis ini munkar, jika dibandingkan dengan matan hadis dari Aisyah ra, yang tersebut di dalam shahihain secara marfu’;
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar.
Kata-kata Rasulullah saw, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan” berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadis Abu Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.
Dengan demikian hadis ini munkar, padahal hadis datang dari rawi yang shaduq, yang secara umum hadisnya hasan.
Kedua; bahwa rawi yang shaduq, atau siqah yang tersalah pada beberapa riwayatnya apabila meriwayatkan hadis dari seorang hafidh yang masyhur memiliki murid cukup banyak, tetapi ia meriwayatkannya seorang diri, tidak ada murid lain yang membawakan riwayat yang sama dari seorang hafidh tersebut, maka riwayatnya sendiri itu munkar. Seperti yang diisyaratkan oleh Imam Muslim ra di dalam muqaddimah kitab Shahihnya,
“Keputusan ahli Ilmu (hadis), dan orang yang kami ketahui madzhabnya tentang diterima periwayatan hadis yang diriwayatkan secara munfarid, adalah bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan pula oleh ahli-ahli ilmu dan hafidz yang siqah di antara periwayatan mereka. Dan terlebih lagi pada periwayatan itu terdapat kesesuaian. Apabila ditemukan keadaan demikian, kemudian ia menambahkan suatu teks yang tidak ada pada rijal lainnya, maka tambahan itu dapat diterima”.
Adapun orang yang setingkat dengan az-Zuhri karena kebesarannya dan banyaknya murid yang hafidz (banyak menghafa hadis) mutqin (terpercaya) baik pada hadis dari az-Zuhri ataupun hadis lainnya, atau yang sekelas Hisyam bin Urwah. Hadis dari kedua tokoh tersebut menurut para ulama' telah tersebar luas di negeri Islam. Murid-murid keduanya telah menukil hadis dari mereka, bahkan hadis-hadis yang disepakati di antara mereka jumlahnya cukup banyak. Lalu ada salah seorang diantara murid dari keduanya, atau murid salah satu di antara keduanya meriwayatkan hadis yang tidak dikenal oleh seorang pun di antara murid mereka. Dan rawi yang meriwayatkan itu pun juga tidak pernah meriwayatkan hadis dari guru mereka yang sama dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh para murid yang lain. Maka hadis seperti ini tidak boleh diterima.
Contohnya adalah hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra (4/316) dan adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/18) dengan jalan;
مَحْمُوْدُ بْنِ آدَمَ الْمَرْوَزِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَامِعٍ بْنِ أَبِي رَاشِدْ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ –يَعْنِي ابْنِ مَسْعُوْدٍ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عُكُوْفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِي مُوْسَى، وَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، أَوْ قَالَ عَبْدُ اللهِ : إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الثَّلاَثَةِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : لَعَلَّكَ نَسِيْتَ وَحَفِظُوْا
dari Mahmud bin Adam al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Jami’ bin Abi Rasyid, dari Abu Wa’il, ia berkata; Hudzaifah berkata kepada abdullah bin Mas’ud ra, … antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah saw bersabda. Tidak ada I’tikaf kecuali di masjidil Haram, atau beliau bersabda, kecuali di tiga masjid. Kemudian Abdullah berkata; barangkali kamu lupa sedangkan mereka ingat.
Mahmud bin Adam adalah shaduq, hanya saja ia telah menyebutkan riwayat hadis ini seorang sendiri dari Ibnu Uyainah, padahal beliau memiliki banyak murid, dan tidak ada murid-murid Ibnu al-Uyainah yang meriwayatkan hadis ini. Maka tak dapat diperkirakan bahwa Ibnu Uyainah telah menyembunyikan hadis ini terhadap murid-muridnya, atau ingatan mereka tentang hadis ini melemah sedangkan ingatan Mahmud bin Adam tetap kuat, sehingga ia mengemukakan hadis ini dan mereka tidak mengemukakannya. Bila dilihat dari segi matan,–bahkan juga di dalam sanadnya, dilihat dari segi rafa' (kebersambungan sampai kepada Rasulullah saw)– tampak terdapat kemunkaran.
2. Hadis Syadz
Definisi
مَا خَالَفَ فِيْهِ الْمَوْصُوْفُ بِالضَّبْطِ مَنْ هُوَ أَضْبَطَ مِنْهُ، أَوْ مَا انْفَرَدَ بِهِ مَنْ لاَ يَحْتَمِلُ حَالَةَ قُبُوْلِ تَفَرُّدِهِ
Adalah apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit menyelisihi rawi yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan seorang diri oleh rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima riwayatnya secara kesendirian
Penjelasan Definisi
Rawi yang bersifat dlabith adalah rawi yang hadisnya dapat diterima baik karena ia siqah hafidh, siqah, siqah yukhthi’, atau shaduq hasan al-hadits
Rawi yang lebih dlabith; yaitu rawi yang tingkatnya lebih tinggi dari rawi pertama dari segi kedlabithannya. Iistilah Siqah lebih tinggi dari shaduq. Rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i dan Abu Hatim lebih tinggi kedudukannya daripada rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i saja. Siqah hafidh lebih tinggi dari pada siqah saja. dan seterusnya.
Hadis yang dibawakan oleh rawi yang siqah apabila ia riwayakan seorang diri dengan matan yang munkar. Atau bersendiri dengan hadis dari seorang hafidh besar tetapi tidak diikuti oleh murid-murid yang lainnya
Syadz kadang-kadang terjadi pada matan, dan kadang-kadang terjadi pada sanad. Insya Allah akan diberikan contoh untuk masing-masing jenis tersebut.
Contoh 1. Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang lebih dlabith daripadanya dalam hal matannya.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan (92337) dengan jalan sebagai berikut;
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى
Hammam bin Yahya berkata, Telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari al-Hasan, dari samurah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambut kepalanya dan diberi nama".
Abu Dawud berkata Hamam berselisih dalam hal ini, dan bdia meragukan riwayat dari Hammam. Mereka mengatakan “Yusamma” (diberi nama) sedangkan Hammam mengatakannya “Yudamma”.
Hammam, meskipun muridnya Qatadah, tetapi bukanlah termasuk murid pada generasi pertama, tetapi ia seorang murid yang mengandung keraguan dalam meriwayatkan hadis dari Qatadah, meskipun dia siqah. Banyak murid Qatadah yang lainnya dan yang lebih dhabith dari Hammam meriwayatkan hadis yang berebeda dari hadis yang diriwayatkannya. Para rawi itu menggunakan kata 'Yusamma'. Di antara mereka adalah Sa'id bin Urwah (yang merupakan murid Qatadah yang paling kuat) dan Aban bin yazid al-'Athar. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh Hammam dengan lafadz seperti ini adalah syadz. Yang shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh jama'ah.
Contoh kedua, Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang lebih dlabith daripadanya dalam hal sanadnya.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:382,402), Bukhari (1:52), Muslim 1:228), Abu 'Awanah (1:198), Abu Dawud (23) at-Tirmidzi (13), an-Nasa'i (1:19,25) Ibnu Majah (305), dengan jalan
عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ عَلَيْهَا قَائِمًا فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَذَهَبْتُ لِأَتَأَخَّرَ عَنْهُ فَدَعَانِي حَتَّى كُنْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi saw mendatangi tempat pembuangan suatu kaum lalu beliau kencing di sana dengan berdiri, lalu aku datang untuk berwudlu, lalu aku pergi untuk meninggalkannya, lalu beliau memanggilku sehingga aku ada di belakang beliau, lalu beliau berwudlu dan mengusap khufnya.
Hadis seperti ini diriwayatkan pula dari al-A'masy oleh sejumlah ulama' seperti Ibnu 'Uyainah, Waki', Syu'bah, Abu 'Awanah, Isa bin Yunus, Abu Mu'awiyah, Yahya bin 'Isa ar-ramly, dan Jarir bin Hazm
Tetapi Abu Bakar bin 'Iyasy menyalahi riwayat mereka. Status akurasi Ibnu 'Iyasy adalah siqah tetapi memiliki beberapa kesalahan. Dia meriwayatkan hadis tersebut dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari al-Mughirah bin Syu'bah
Abu Zur'ah ar-Razi mengatakan, "Abu Bakar bin 'Iyasy telah melakukan kesalahan dalam hadis ini. Yang benar adalah hadis dari al-A'masy dari Abu Wa'il, dan Hudzaifah". Dengan demikian sanad hadis yang diriwayatkan melalui Abu Bakar bin 'Iyasy adalah syadz, Allahu a'lam.
Contoh 3, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada matan.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah (1216), ath-Thabrani di dalam al-Kabir (1:243) dengan jalan dari Abdurrahman bin Bisyir bin al-Hakam, dari Musa bin Abdul 'Aziz al-Qanbari, dari al-Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas …. hadis tentang salat tasbih.
Musa bin Abdul Aziz al-Qanbari termasuk rijal yang shaduq, hanya saja hadisnya tidak dapat diterima bila diriwayatkan hanya dari jalan dirinya saja, seperti halnya hadis tersebut di atas. Al-hafidz Ibnu Hajar di dalam at-Talkhish al-Habir (2:7) berkata, "Hadis Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, hanya saja ia syadz karena beratnya kepribadiannya, dan tidak adanya tabi' dan syahid (pendukung) dari jalan yang mu'tabar, dan berbedanya cara melakukan salat tasbih dengan berbagai salat lainnya. Sedang Musa bin Abdul Aziz meskipun dia shaduq shalih tidak mungkin diterima riwayat yang datang darinya seorang diri"
Sebagian ulama' berpendapat bahwa hadis Musa bin Abdul Aziz ini munkar, tetapi sebagian lainnya menyatakan syadz. Menurut kami keduanya benar. Syadz khusus berkaitan dengan kedlabithan, dan shaduq adalah termasuk kategori dlabith, hanya saja ia ada setingkat di bawah siqah. Sedangkan munkar khusus berkaitan dengan dla'if, dan lemahnya tingkat shaduq merupakan salah satu indikasi kedla'ifan. Sehingga apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri atau menyalahi riwayat yang lain, dinamakan syadz atau munkar tidak menyalahi kaidah dalam ilmu mushthalah hadis. Allahu a'lam.
Contoh 4, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada sanad.
Diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id al-Khudriy ra secara Marfu'; Sesungguhnya perbuatan itu dengan niat"
Abdul Majid ini dinyatakan siqah oleh beberapa orang, tidak hanya seorang ulama'. Hanya saja dia meriwayatkan seorang diri dari Malik dengan sanad seperti ini. Yang benar dari riwayat malik dan yang lainnya adalah dari yahya bin Sa'id al-Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Alqamah dari Umar bin Khaththab. Dengan demikian hadis Abdul majid adalah syadz.
Yang harus diingat, bahwa periwayatan hadis seorang diri dari seorang rawi, baik pada sanad ataupun matan, adalah salah satu jenis dari kesalahan, ketika dia meriwayatkannya dalam bentuk tertentu, dan menyalahi riwayat para rawi lainnya yang tidak menyebutkan riwayat seperti itu.
Hadis Mahfudz dan Ma'ruf
Lawan dari syadz adalah mahfudz, dan lawan dari munkar adalah ma'ruf.
Maksudnya, ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dlabith dengan yang lebih dhabith, riwayat yang rajih (kuat) itu dinamakan mahfudz.
Dan ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dla'if dengan rawi yang lebih kuat maka riwayat yang rajih dinamakan ma'ruf.
3. Hadis Mudraj
Definisi
هِيَ أَلْفَاظٌ تَقَعُ مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ، مُتَّصِلَةٌ بِالْمَتَنِ لاَ يُبَيَّنُ لِلسَّامِعِ إِلاَّ أَنَّهَا مِنْ صَلْبِ الْحَدِيْثِ
Hadis Mudraj yaitu (adanya) lafal yang berasal dari sebagian rawi, bergandeng dengan matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya saja lafal itu berada di tengah hadis
Macamnya
Mudaraj ada dua macam, yatu mudraj matan dan Mudraj sanad.
A. Mudraj matan yaitu apabila seorang rawi memasukkan beberapa kalimat ke dalam hadis nabi saw dengan menyamarkan asal kalimat tersebut, bahwa sebenarnya berasal dari dirinya
Berdasarkan pada letaknya, mudraj dibagi menjadi tiga macam, yaitu;
1. Mudraj di awal matan. Mudraj jenis ini jarang ditemukan
Contoh hadis mudraj di awal matan adalah; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dengan jalan;
عَنْ أَبِي قَطْنٍ وَشِبَابَةِ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Qathn dan Syibabah, dari syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersaba; Sempurnakan-lah wudlu’, celakalah tumit orang yang berasal dari api neraka.
Kalimat asbighul wudlu’ (sempurnakanlah wudlu’) dalam hadis tersebut, adalah kata-kata Abu Hurairah.Yang menunjukkan bahwa kata itu dari Abu hurairah adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya
عن آدَمَ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، فَإِنَّ أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Adam, dari Syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Hurairah, “Sempurnakanlah wudlu’ karena Abu Qasim (Rasulullah) saw bersabda; Celaka lah tumit orang yang berasal dari api neraka".
2. Mudraj yang terletak di tengah matan, jenis ini juga hanya sedikit.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam kitab as-Sunan (6/21) dengan jalan
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَخْبَرَِنِي أَبُوْ هَاِنئٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجُنَبِيّ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَنَا زَعِيْمٌ –وَالزَّعِيْمُ الْحَمِيْلُ– لِمَنْ آمَنَ بِيْ وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ وَبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ
Ibnu Wahb berkata, telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hani’ dari Amr bin Malik al-Junaby, bahwasannya ia mendengar Fadlalah bin Ubaid berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, aku adalah pemimpin –pemimpin adalah penanggung– bagi orang yang beriman kepadaku, memasuki Islam dan berhijrah, pemimpin di dalam rumah yang berada di tepi sorga dan di tengah sorga
Kata pemimpin adalah penanggung berasal dari Ibnu Wahb.
3. Mudraj yang terletak di akhir matan, inilah yang banyak dijumpai dalam hadis.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab al-‘Ilal (1/65) dengan jalan;
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ هِشَامَ بْنِ حَسَّان، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْن، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَسُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي اْلإِنَاءِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفَ بِيَمِيْنِهِ مِنْ إِنَائِهِ ثُمَّ لِيُصِيْبَ عَلَى شَمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَهُ
Dari Ibrahim bin Thahman, dari Hisyam bin Hisan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah. dan Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya, dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang diantaramu bangun tidur hendaklah membasuh telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, sebab ia tidak tahu ke mana tangannya bermalam. Kemudian hendaklah ia menciduk air dengan tangan kanannya dari bejana itu kemudian menuangkannya ke tangan kirinya, lalu hendaklah ia membasuh pantatnya.
Abu Hatim ar-Razi berkata, “Kalimat, 'Kemudian hendaklah menciduk air… (sampai akhir matan hadis tersebut)' adalah kata-kata Ibrahim bin Thahman. Ia telah menyambungkan kata-katanya dengan hadis sehingga pendengar tidak bisa membedakan antara keduanya dengan mudah".
B. Mudraj Sanad
Mudraj ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu;
1. Seseorang meriwayatkan sejumlah hadis dengan sanad yang berbeda-beda, lalu ia menggabungkan semua sanad itu menjadi satu tanpa menerangkan perbedaan-perbedaan yang ada.
2. Seorang rawi memiliki matan hanya sepotong saja. Sesungguhnya potongan matan itu mempunyai sanad yang lain lagi. Lalu rawi itu meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap dengan sanad yang pertama tadi, padahal hadis yang ia dengar langsung dari gurunya hanya sepotong, maka bisa dipastikan ia mendengarkan dari hadis yang lengkap itu dari gurunya dengan perantaraan rawi lain, tetapi rawi tersebut meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap dan menggandengkan dengan sanad yang pertama dan tidak menyebutkan rawi lain yang menjadi perantara antara dirinya dengan gurunya.
3. Seorang rawi memiliki dua matan yang berbeda dengan dua sanad yang berbeda pula, lalu ada seorang rawi lain yang meriwayatkan kedua matan darinya dengan mengambil salah satu sanad saja, atau mengambil salah satu dari dua hadis itu dengan sanadnya dan menambahkan pada matan hadis yang lainnya tersebut matan tersebut, yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari matan hadis itu.
4. Seorang rawi menyebutkan suatu sanad, kemudian ada sesuatu yang memalingkannya, lalu ia mengatakan suatu perkataan dari dirinya sendiri, tetapi orang yang mendengarkannya mengira kata-kata itu adalah matan dari sanad tersebut sehingga yang mendengarkan itu meriwayatkan hadis seperti yang ia dengarkan itu .
4. Hadis Mukhtalath
Definisi
هُوَ مَا يَرْوِيْهِ مَنْ وُصِفَ بِنَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ اْلإِخْتِلاَطِ
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan)
Penjelasan Definisi
Rawi; baik yang siqah ataupun dla’if
Memiliki sifat salah satu jenis ikhtilath; seperti terjadinya kekacauan ingatan sehingga kadang-kadang mencampurkan satu hadis dengan hadis yang lain, di antara sebabnya adalah karena usia lanjut, atau karena kitabnya terbakar.
Hukum Hadis Mukhtalath
Hadis Mukhtalath dilihat dari segi dapat diterima atau tidaknya dibagi menjadi beberapa tingkatan;
Pertama, dapat diterima hadis dari rawi yang mengalami ikhtilath, apabila ia siqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam kitab Sunan (3/54)
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبِ بْنِ عَرَبيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّى بِنَا عَمَّارُ ابْنُ يَاسِرٍ صَلَاةً فَأَوْجَزَ فِيهَا فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الْقَوْمِ لَقَدْ خَفَّفْتَ أَوْ أَوْجَزْتَ الصَّلَاةَ فَقَالَ أَمَّا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ دَعَوْتُ فِيهَا بِدَعَوَاتٍ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَامَ تَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
Telah meberitakan kepada kami Yahya bin Habib bin Arabiy, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad, ia berkata; Telah menceritakan kepada Kami Atha’ bin as-Sa’ib, dari ayahnya, ia berkata; Ammar bin Yasir pernah melakukan suatu salat bersama kami dengan salat yang ringan (pendek) lalu orang bertanya kepadanya, engkau telah meringankan shalatmu –atau pendekkan– Lalu Ammar menjawab; Adapun dalam hal itu aku telah berdoa di dalamnya dengan suatu do’a yang aku dengar dari Rasulullah saw, lalu ketika beliau berdiri seseorang di antara kaum itu mengikutinya…
Atha’ bin Sa’ib adalah siqah, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir usianya, dan Hammad yang meriwayatkan hadis ini darinya adalah Hammad bin Zaid. Dia termasuk orang yang telah mendengar hadis dari Atha' sebelum ia mengalami ikhtilath. Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata, "Hammad bin Zaid telah mendengar dari Atha’ sebelum ia mengalami ikhtilath". Demikian juga penilaian Abu hatim ar-Razi.
Kedua, Tertolak hadis dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila rawi yang meriwayatkan hadis darinya mendengarkan hadis setelah ia mengalami ikhtilath
Contohnya; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2602), at-Tirmidzi (3446) dan lain-lainnya dengan jalan;
حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ السَّبِعِيْ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عَلِيًّا رَضِي اللَّه عَنْهم مَرْفُوْعاً إِنَّ رَبَّكَ يَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا قَالَ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرِي
Dari Abu Ishaq as-Sabi’iy al-Hamdani, dari Ali bin Rabi’ah al-Walibiy, dari Ali bin Abi Thalib ra secara marfu’. Sesungguhnya Tuhanmu merasa heran kepada hamba-Nya apabila ia mengatakan ampunilah dosa-dosaku, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada yang mengampuni dosa selain diriku.
Abu Ishaq as-Sabi’iy seorang Mudallas, ia tidak mendengar hadis ini dari Ali al-Walibiy. Al-Mizzi telah menukilkan di dalam kitab Tuhfatu al-Asyraf (7/436) dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu’bah, ia berkata; Aku bertanya kepada Abu Ishaq, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab; dari Yunus bin Khabab, Lalu aku menjumpai Yunus bin Khabab, aku bertanya kepadanya, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab; dari seseorang yang mendengar dari Ali bin Rabi’ah.
Ahmad bin Mansur ar-Ramadi telah meriwayatkan dari Abdur Razaq ash-Shan’ani, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepadaku Ma’mar, dari Abu Ishaq, telah mengkhabarkan kepadaku Ali bin Rabi’ah. Dikeluarkan oleh al-Mahamili, di dalam kitab ad-Du’a (15) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Mu'jam al-Kubra.
Tetapi riwayat ini mengandung cacat. Abdur Razaq seorang yang siqah hafidz, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir hidupnya. ar-Ramadiy belajar kepada Abdur Razaq setelah ia mengalami ikhtilath, ketika itu ia mendiktekan hadis. Maka tak layak ar-Ramady mengatakan dalam meriwayatkan hadis itu dengan ungkapan "mendengar".
Khusus untuk Imam Ahmad, beliau telah meriwayatkan hadis tersbut dari Abdur Razaq di dalam kitab Musnadnya (1/115) tidak dengan ungkapan yang bermakna mendengar secara langsung. Padahal Imam Ahmad termasuk orang yang mendengar hadis dari Abdur Razaq sebelum ia mengalami ikhtilath.
Ketiga; seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila ia dla’if, baik orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia mengalami ikhtilat, atau setelahnya. Yang demikian itu karena hadisnya tertolak karena illah (sebab) yang lain, bukan karena ikhtilath. Apabila disandarkan kepadanya ikhtilath, maka menolak hadisnya lebih utama.
Contoh; Hadis Laits bin Abi Salim. Laits termasuk rijal yang dla’if lagi Mudtharib hadis (goncang hadisnya), dan ia mengalami ikhtilath di akhir usianya. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengalami ikhtilath di akhir usianya, ia banyak mebolak-balikkan sanad, dan merafa’kan riwayat yang mursal, dan membawa riwayat dari rawi siqat yang bukan dari hadis mereka”
Keempat; Mendiamkan hadis rijal mukhtalith yang siqah, apabila riwayat orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya sehingga hadisnya diketahui derajatnya. Apabila ada kesesuaian dengan para rawi yang siqat, maka hadisnya dapat diterima, apabila tidak sesuai maka hadisnya tertolak.
Contohnya; Hadis Hammad bin Salmah dari Atha’ bin as-Saib, sesungguhnya ia mendengar dari Atha’ sebelum dan setelah ikhtilath, sebagaimana telah kami tegaskan di dalam kitab adl-Dla’if min Qishat al-Isra’ wa al-Mi’raj, h. 27.
5. Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
Definisi
هُوَ أَنَّهُ يَزِيْدُ رَاوٍ فِي اْلاَسَانِيْدِ رَجُلاً لَمْ يَذْكُرْهُ غَيْرُهُ
Seorang rawi menambahkan seseorang rijal di dalam suatu sanad, yang tidak disebutkannya di dalam sanad lainnya
Penjelasan Definisi
Seorang rawi di dalam suatu sanad menambahkan seorang rijal dalam sanad suatu suatu khabar atau hadis, baik dengan disebutkan namanya atau disembunyikan namanya (mubham). Tambahan rijal tersebut tidak disebutkan oleh para rawi itu di dalam jalur sanad yang lain.
Syarat Mazid fi Muttashil Asanid
Adanya pernyataan bahwa seorang rawi telah menerima hadis dalam bentuk as-Sima’ (mendengar) dari gurunya di tempat adanya tambahan itu. Jika pernyataan rawi itu tidak dalam bentuk as-sima', melainkan menggunakan bentuk mu’an’an pada jalur sanad yang tanpa ziyadah, maka ziyadah itu menjadi rajih (kuat) . Sebab jallur yang tanpa ziyadah dimungkinkan terjadi irsal atau tadlis. Untuk mencapai kesimpulan yang sahih hendaklah dicari qarinah dan bukti-buktinya. Selanjutnya dapat ditentukan riwayat yang sahih.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/386, 416 dan 467) dan Muslim (3/1466), Abu Awanah (2/109) dengan jalur sanad dari Abu 'Awanah;
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَلْقَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Dari Ya'la bin ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Abu Alqamah berkata, Aku mendengar Abu Hurairah ra berkata; Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia telah durhaka kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku maka ia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang mendurhakai amir (pemimpin)ku maka ia telah durhaka kepadaku.
Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam Sunan-nya (8/276) dengan sanad sebagai berikut;
أَخْبَرَنَا أَبُوْ دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْوَلِيْدِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ حَدَّثَنِي أَبْوْ هُرَيْرَةَ ...
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Ya’la bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari Abu ‘Alqamah, Abu Hurairah telah menceritakan kepadaku ….
Di dalam sanad di atas ada tambahan 'Atha' yaitu ayah Ya'la. Inilah yang dinamakan Mazid fi Muttasil al-Asanid. Muslim di dalam kitab Shahihnya menyebutkan riwayat yang tidak ada ziyadahnya bahwa Ya’la bin Atha’ telah menjelaskan bahwa ia menerima hadis dari gurunya, yaitu Abu 'Alqamah, dengan cara as-sima’.
6. Hadis Maqlub
Definisi
مَا خَالَفَ فِيْهِ الرَّاوِي مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ فَأَبْدَلَ فِيْهِ شَيْئًا بِآخَرٍ فِي سَنَدٍ أَوْ فِي مَتَنٍ، سَهْوًا أَوْ عَمْدًا
Apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berbeda dengan riwayat rawi yang lebih siqah, karena di dalamnya terdapat pertukaran suatu kalimat dengan lainya, baik di dalam sanad ataupun di dalam matan, karena lalai atau sengaja.
Bentuknya
Di antara bentuk hadis maqlub adalah terbalik salah satu nama rawi di dalam sanadnya, seperti Murrah bin Ka’b dikatakan Ka’b bin Murrah
Atau berubahnya suatu kata di tempat yang lainnya pada suatu matan, seperti di dalam hadis Ibnu Umar ra “Maka saya dengan nabi duduk di tempat duduk beliau dengan menghadap kiblat dan membelakangi Syam”. Hadis itu terbalik, yang benar adalah, “Menghadap Syam dan membelakangi Ka’bah”
Atau bisa juga tertukarnya suatu sanad dengan matan yang lain
Barangsiapa yang melakukan kesalahan seperti ini maka kualitas akurasi (dlabth)nya, berdasarkan apa yang telah terjadi adalah meragukan, sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu. Apabila hal itu disengaja, maka ia termasuk pengkhianat dan pendusta. Apabila ia menghubungkan suatu sanad dengan matan, maka ia termasuk pencuri hadis, yang tercela keadilannya.
7. Hadis Mudltharib
Definisi
الْحَدِيْثُ الَّذِي يَرْوِيْهِ الرَّاوِي الَّذِي لاَ يَحْتَمِلُ تَعَدُّدُ اْلأَسَانِيْدِ عَنْهُ مَرَّةً بِسَنَدٍ وَمَرَّةً أُخْرَى بِسَنَدٍ آخَرٍ مُخَالِفٍ بِحَيْثُ لاَ يُمْكِنُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya, suatu kali dengan sebuah sanad, dan lain kali dengan sanad lainnya yang berbeda, di mana antara keduanya tidak mungkin dikompromikan.
Penjelasan definisi.
Hadis Mudltharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi; baik siqah, shaduq, atau bahkan dla’if yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya sebagaimana halnya rawi yang hafidh lagi siqah seperti az-Zuhri, Malik dll. Rawi itu mungkin sekali meriwayatkan hadis lebih dari satu sanad, sehingga tidak dianggap terjadi idlthirab (goncang) karena banyaknya hadis yang didengarkannya atau yang diriwayatkannya, kecuali jika ada perbedaan yanag sangat jelas. Suatu kali ia meriwayatkan hadis dengan sebuah sanad, dan lain kali meriwayatkan dengan sanad lain yang berbeda dan antara berbagai sanad yang ada tersebut tidak mungkin dikompromikan
Contohnya
يَبِيْتُ قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوْنَ وَقَدْ مُسِخُوْا قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ وَلَيُصِيْبَنَّهُمْ خَسَفٌ وَقَذَفٌ حَتَّى يُصْبِحَ النَّاسُ فَيَقُوْلُوْنَ خَسَفَ اللَّيْلَةُ بِبَنِي فُلاَنٍ وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ حَاصِبًا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ كَمَا أُْرْسِلَ عَلَى قَوْمِ لُوْطَ عَلَى قَبَائِلٍ فِيْهَا وَعَلَى دَوْرٍ فِيْهَا وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ الرِّيْحَ العَقِيْمَ الَّتِيْ أَهْلَكَتْ عَادًا بِشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيْرَ
Suatu kaum di antara ummat ini bermalam dengan makanan, minuman dan permainan, lalu pagi harinya mereka telah diubah menjadi kera dan bab. Dan sungguh mereka telah ditimpa kehinaan dan sehingga ketika orang-orang bangun pagi mereka mengatakan telah terjadi semalam telah terjadi malapetaka di rumah si fulan dan dikirimkan kepada mereka hujan batu dari langit seperti yang pernah menimpa kaum nabi Luth, terhadap beberapa kabilah di antara mereka, beberapa rumah di antaranya, dan dikirimkan angina rebut yang menghancurkan kaum 'Ad karena mereka meminum khamr, memakan riba, menjadikan perempuan sebagai penyanyi-penyanyi dan memakai sutera.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Farqad as-Sabakhi dengan enam versi yang berbeda-beda. Farqad adalah dikenal sebagai salah seorang rawi yang dla’if. Karena itulah riwayatnya dikatakan idlthiraab (goncang)
Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matan, dan kadang-kadang pula terjadi pada sanad. Tetapi idlthirab yang terjadi pada matan jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi pada sanad.
Hadis Mu’allal
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي أُطْلِعَ فِيْهِ عَلَى عِلَّةٍ تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهِ مَعَ أَنَّ ظَاهِرُهُ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Yaitu hadis yang di dalamnya terungkap adanya cacat sehingga menyebabkan rusak kesahihannya, padahal secara dhahir hadis itu terbebas dari cacat tersebut
Cara mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat sehingga termasuk mu'allal ataukah tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya, mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar (analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan kebenarannya.
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, Cara mengetahui illah hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan, dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali al-Madini mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan tampak kesalahannya
Illah kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang terjadi pada matan. Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb al-Mala’I, dari al-A’masy dari Anas, ia berkata,
كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُو مِنَ اْلأَرْضِ
Apabila Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka (mengangkat) pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.
Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (14), Abu Isa ar-Ramli di dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50)
Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya siqah, hanya saja al-A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung dari Anas bin Malik ra. Ibnu al-Madini mengatakan, “al-A’masy tidak pernah mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah, ketika salat ada di belakang Maqam”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jenis hadis ini telah kami bahas tersendiri dalam satu buku yang khusus. Buku itu juga berfungsi untuk latihan menyingkap adanya ‘ilal (cacat) pada suatu hadis. Buku tersebut kami beri nama “Tadrib ath-Thalabah 'ala takwin al-malakah" (Melatih siswa untuk menanamkan kecakapan), yaitu pada bagian ketiga dari buku ini.
Hadis Musalsal
Definisi
التَّسَلْسُلُ هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ تَسَلْسُلِ رِجَالِ اْلإِسْنَادِ جَمِيْعُهُمْ عَلَى صِفَةٍ أَوْ حَالَةٍ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرِّوَايَةِ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرُّوَاةِ
at-Tasalsul adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama. Kadang-kadang pada sifat suatu riwayat, dan kadang-kadang pada sifat rawi.
Penjelasan definisi
at-Tasalsul adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama; dari awal sanad hingga akhir sanad.
Kadang-kadang persamaan sifat itu ada pada riwayat; Seperti hadis musalsal dengan sima’, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh para rawi, yang seluruhnya menyatakan telah mendapatkan hadis dengan cara mendengar dari gurunya.
Kadang-kadang sifat yang berangkai itu ada pada rawi; seperti seluruhnya mereka orang-orang Mesir, yaitu musalsal dengan periwayatan orang-orang Mesir, atau hadis tentang menyilangkan tangan, atau musalsal dengan rawi yang bernama Muhammad.
Contohnya
Hadis yang musalsal dalam membaca Sabbaha lillahi maa fis samawati wa maa fil Ardl, wa huwal Azizul Hakim
Dan hadis yang musalsal dengan kata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”
Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Hadis dilihat dari akhir sanadnya dibagi menjadi tiga, yaitu
Pertama Marfu’;
كُلُّ حَدِيْثٍ نُسِبَ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
yaitu setiap hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw, baik perkataan, pekerjaan, taqrir (ketetapan) atau sifat.
Kedua, Mauquf;
مَا نُسِبَ إِلَى الصَّحَابِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
yaitu hadis yag dinisbahkan kepada Shahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
Ketiga, Maqthu’;
مَا نُسِبَ إِلَى التَّابِعِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
yaitu setiap hadis yang dinisbahkan kepada Tabiin, baik perkataan maupun perbuatan.
بسم الله الرحمن الرحيم
ILMU HADIS
Untuk Pemula
Kitab Asli
Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in; Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in
Penulis
Amr Abdul Mun'im Salim
Penerbit
Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, Mesir
Tahun terbit
1417 H – 1997 M
Penerjemah
Abah Zacky
Hak Cipta @ Abah Zacky
abah_zacky@yahoo.com
Diizinkan memperbanyak atau mengkopy buku ini baik sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penerbit, pengarang atau penerjemah dengan syarat untuk menyebarluaskan ilmu, bukan untuk diperjual belikan.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: هُمْ عِنْدِيْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
رواه الخطيب في شرف أصحاب الحديث (42) بسند صحيح
Rasulullah saw bersabda: Akan senantiasa ada sekelompok orang di antara ummatku yang menampakkan kebenaran, orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan mencelakainya sehingga datangnya hari kiamat.
Ibnu al-Mubarak berkata: Mereka itu menurutku adalah ashabu al-hadis
Riwayat al-Khathib dalam Syarf Ashabi al-Hadis no. 42 dengan sanad yang shahih
A. Definisi Ulumul Hadis
Definisi
عِلْمُ الْحَدِيْثِ هُوَ مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدَ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفَةِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِي
Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantar-kan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan)
Ada pendapat lain yang menyatakan
هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
Ilmu Hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan
Penjelasan Definisi
Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan
Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Contoh-contoh
Al-Bukhari meriwayatkan hadis berikut, di dalam kitabnya yang ber-nama ash-Shahih, Bab Kayfa kana bad’ al-wahyi ila Rasulillah saw, j. 1, h. 5
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan
Yang dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْر،ِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
Sedangkan matan pada hadis di atas adalah;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dla’if.
B. Definisi Hadis, Khabar Dan Atsar
Definisi
الْحَدِيْثُ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَوَاءً كَانَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
Hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat
الْخَبَرُ مَا جَاءَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ عَنْ غَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِهِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi saw ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
الأَثَرُ مَا جَاءَ عَنْ غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الصَّحَابَةِ أَوِ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ
Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi saw, yaitu dari shahabat, tabi’in, atau generasi setelah mereka
Contah-contoh
Contoh hadis qouly (perkataan)
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu dengan niat
Contoh hadis fi’ly (perbuatan) adalah hadis dari Aisyah ra.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
Nabi saw apabila akan tidur, sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau berwudlu seperti wudlu untuk shalat
Contoh hadis taqriry (persetujuan) adalah hadis dari Ibnu Abbas ra,
أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْناً وَأَضْبًا وَأَقْطاً فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَ مِنَ الْأَقْطِ وَتَرَكَ الْأَضْبَ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَوْ كَانَ حَرَاماً مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa bibinya memberi hadiah kepada Rasulullah saw berupa mentega, daging biawak dan keju, lalu beliau memakan mentega dan keju dengan meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, tetapi daging itu dimakan di meja makan rasulullah saw, seandainya haram maka tak akan dimakan di meja Rasulullah saw
Contoh hadis sifat, yaitu hadis yang memuat sifat pribadi nabi saw, adalah hadis dari Anas ra;
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ حَسَنُ الْجِسْمِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ أَسْمَرُ اللَّوْنِ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ
Rasulullah itu tingginya sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tubuhnya bagus, rambutnya tidak keriting dan tidak lurus, warnanya coklat, apabila berjalan rambutnya bergoyang.
C. Hadis Sahih
Definisi Hadis Shahih
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadis sahih adalah hadis yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dlabith dari orang yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadis sahih adalah hadis yang mengandung syarat-syarat berikut;
1. Hadisnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dlabith
4. Tidak ada syadz (keganjilan)
5. Tidak ada ilah (cacat)
Penjelasan Definisi
Musnad, maksudnya hadis tersebut dinisbahkan kepada nabi saw dengan disertai sanad. Tentang definisi sanad telah disebutkan di depan.
Sanadnya bersambung, bahwa setiap (periwayat) dalam sanad mendengar hadis itu secara langsung dari gurunya
Para rawi-nya adil dan dhabith, yaitu setiap periwayat di dalam sanad itu memiliki sifat adil dan dhabith. Apa yang dimaksud dengan adil dan dhabith?
Adil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah .
Dlabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dlabith ini ada dua macam, yaitu;
1. Dlabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya .
2. Dlabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadis atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan hadisnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya kesahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis di dalam kitab-kitab lainnya.
Tidak ada syadz. Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadis dari periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadis syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
Tidak ada illah, Di dalam hadis tidak terdapat cacat tersembunyi yang merusak kesahihan hadis. Tentang hadis mu’allal (cacat) juga akan dibahas dalam bagian tersendiri .
Contoh Hadis Sahih
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya j.4 h.18, kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadis tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih, karena.
1. Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
2. Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadis dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadis dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadis dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadis ini dari gurunya.
3. Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadis, yatu Imam Bukhari
a. Anas bin Malik ra, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat dinilai adil.
b. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
c. Mu’tamir, dia siqah
d. Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.
e. Al-Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia dinilai sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadis.
4. Hadis ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5. Hadis ini tidak ada illah-nya
Dengan demikian jelaslah bahwa hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadis ini di dalam kitabnya ash-Shahih.
D. Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Nabi
Yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadis nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri al-Madani (rahimahullah)
Shalih bin Kaisan berkata, “Aku berkumpul dengan az-Zuhri ketika menuntut ilmu, lalu aku katakan, ‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami menulis khabar (berita) yang datang dari Nabi saw. Kemudian az-Zuhri mengatakan, ‘Mari kita tulis yang datang dari shahabat, karena ia termasuk sunnah juga’. Aku katakan, ‘Itu bukan sunnah, sehinga tidak perlu kita tulis’. Meski demikian az-Zuhri tetap menuliskan berita dari shahabat sedangkan aku tidak, akhirnya dia berhasil sedangkan aku gagal” .
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra merasa khawatir akan merosot dan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama’ maka ia mengutus kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dan memerintahkan-nya untuk membukukan hadis Rasulullah saw seraya berkata; “Lihatlah, apa yang terjadi pada hadis Rasulullah saw atau sunnah, atau hadis dari ‘Amrah , maka tulislah karena aku khawatirkan merosotnya ilmu dan hilangnya ulama’ ”
Ibnu Hazm menjawab, “Pergilah kepada Ibnu Syihab, niscaya Engkau tidak akan menjumpai seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”
Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. Kemudian setelah az-Zuhri, di pertengahan abad kedua Hijriyah lahirlah tokoh-tokoh yang membukukan hadis nabi. ke dalam bab-bab tertentu seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Imam Malik, Ma’mar, Ibnu al-Mubarak dan lain-lain.
Dan setelah itu pengumpulan dan kodifikasi hadis berlanjut dengan metode penulisan yang bermacam-macam, seperti musnad, mushannaf, shahih, jami’ dan mustakhraj. Imam as-Suyuthi, dalam hal ini mengatakan di dalam kitabnya Alfiyah,
Orang pertama yang mengumpulkan hadis dan atsar adalah Ibnu Syihab
atas perintah ‘Umar
Dan yang pertama-tama mengumpulkan hadis berbab-bab,
adalah sekelompok ulama’ di masa yang tak jauh (setelahnya)
Seperti Ibnu Juraij, Hasyim, Malik,
Ma’mar, dan anak (Ibnu) al-Mubarak
E. Yang Pertama Kali Membukukan Hadis Sahih
Kemudian setelah generasi mereka muncul imam huffadz dan amirul mukminin fil hadis, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih dalam satu kitab hadis yang diseleksi dari 100 ribu hadis sahih yang beliau hafalkan. Disebutkan di dalam suatu riwayat bahwa beliau berkata, “Aku hafal 100 ribu hadis sahih, dan 200 ribu hadis yang tidak sahih”
Adapun gagasan yang membangkitkannya untuk menulis kitab Jami’ ash-Shahih, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim bin Ma’qal, bahwa ia mendengar al-Bukhari berkata, “Aku di sisi Ishaq bin Rahawiyah, lalu sebagian kawan-kawanku berkata, andaikata Engkau mengumpulkan sebuah kitab ringkas tentang sunnah-sunnah nabi saw, lalu terbetiklah di dalam hatiku keinginan untuk menuliskannya, lalu aku mengambil keputusan untuk mengumpulkan hadis shahih di dalam kitab ini”
Kemudian muridnya, dan pengikut metode beliau al-Imam, huffadz al-Mujawwad, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim bin Ward bin Kausyan al-Qusyairy an-Naisabury (rahimahullah) mengikuti jejak langkah al-Bukhari. Dia menuliskan kitab ash-Shahih dalam tempo 15 tahun .
Para ulama’ mendapatkan kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah al-Qur’an al-Karim. Imam Nawawi berkata , “Para ulama’ sepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan ummat menerima keduanya”
Hanya saja sebagian ulama’, seperti ad-Daruquthni, Abu Ali al-Ghaisany al-Jiyani, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, dan Ibnu Ammar asy-Syahid mengkritik beberapa buah hadis di dalam kedua kitab tersebut, .
Tetapi kritikan itupun telah dijawab oleh sejumlah ulama’ seperti an-Nawawy di dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Hajar di dalam kitab Hadyu as-Sari dan Fathu al-Bari. Dan di antara tokoh yang zaman kini adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, beliau telah menulis sebuah kitab yang bagus yang berjudul, Baina al-Imamain Muslim wa ad-Daruquthny. Kitab tersebut berisi pembelaan terhadap Shahih Muslim dari para pengritiknya.
F. Al-Mustakhraj Terhadap Kitab ash-Shahihain
Definisi
Al-Mustakhraj adalah suatu kitab hadis yang ditulis oleh seorang ulama’ dengan mentakhrijkan (menuliskan riwayat) hadis-hadis yang sudah dibukukan di dalam suatu kitab hadis dengan sanadnya yang sama tetapi dari jalan yang lain dari pengarang kitab mustakhraj ‘alaih (yang dimustakhrajkan), lalu periwayatan mereka bertemu pada gurunya (penulis kitab yang dimustakhrajkan) atau guru yang lebih tinggi, sampai kepada shahabat.
Syaratnya, tidak sampai kepada syaikh dengan jalan yang lebih panjang sehingga menghilangkan sanad yang menghantarkan kepadanya yang lebih dekat, kecuali dengan alasan uluw (ketinggian) atau ada ziyadah (tembahan) yang penting. Bisa jadi Mustakhraj menggugurkan hadis-hadis yang sanadnya yang tidak memuaskan dan bisa pula menyebutkan hadis-hadis itu dengan jalan penulis kitab yang dimustakhrajkan.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya j.1, h.222, Kitab ath-Thaharah, Bab Khishol al-Fithrah;
حَدَّثَنِي أَبُوْ بَكْر بْنُ إِسْحَاق أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جروا الشوارب وأرخوا اللحي وخالفوا المجوس
Telah menceritakan kepadaku, Abu Bakar bin Ishaq, Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Hadis ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim j.1, h.188, dan dalam sanadnya terjadi pertemuan dengan sanad Imam Muslim pada guru beliau, yakni Ibnu Abi Maryam. Bandingkan hadis tersebut dengan hadis berikut ini!
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاق الصَّغَانِي قال أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِيْ مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَر أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْقُوْبِ مَوْلَى الْحِرْقَةِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احفوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْيَ وَخَالِفُوا الْمَجُوْسَ
Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq ash-Shaghani, ia berkata; Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Abi Maryam, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah memberitakan kepadaku al-‘Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub, maula al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; cukurlah brengos dan panjangkanlah jenggot, dan berrbedalah dengan arang-prang Majusi
Bukanlah suatu yang sangat urgen untuk menyebutkan sama persis antara matan (teks hadis) yang ada di dalam kitab al-Mustakhraj dengan matan yang ada di dalam kitab ash-Shahih (yang disebut juga al-mustakhraj ‘alaih), sebagaimana yang terlihat di dalam contoh di atas.
Demikian juga, kadang-kadang hadis di dalam kitab al-Mustakhraj ada ziyadah (tambahan) matan, tidak sebagaimana yang tertulis di dalam kitab ash-Shahih. Untuk itu apabila di dalam al-Mustakhraj salah satu kitab ash-shahihain terdapat ziyadah, kita tidak secara otomatis menganggap tambahan matan itu sahih sehingga diadakan peninjauan terhadap sanadnya.
Kitab-kitab Al-Mustakhraj.
Sejumlah ulama’ yang berminat untuk menuliskan al-Mustakhraj antara lain;
1. Mustakhraj al-Isma’ily,
2. Mustakhraj al-Ghithrify,
3. Mustakhraj Ibnu Abi Dzuhal.
Ketiga kitab tersebut adalah mustakhraj kitab Shahih al-Bukhari. Adapun kitab-kitab Mustakhraj untuk Shahih Muslim adalah;
1. Mustakhraj Abu Awanah,
2. Mustakhraj al-Hairy,
3. Mustakhraj Abu Hamid al-Harawy.
Dan di antara kitab Mustakhraj kedua kitab Shahih, adalah;
1. Mustakhraj Abu Nu’aim al-Ashbahany,
2. Mustakhraj Ibnu al-Akhram,
3. Mustakhraj Abu Bakar al-Barqany
G. Sekilas Tentang Kitab-kitab Sunan
Para pelajar hendaklah mendalami kitab-kitab sunan seperti Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Musnad karya Imam Ahmad.
Yang dimaksud dengan Kutub as-Sittah; adalah ash-Shahihain, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.
Yang dimaksud dengan kitab Sunan adalah kitab yang ditulis dengan mengikuti urutan bab fiqh, seperti Iman, Thaharah, salat, zakat, dan seterusnya, dan kebanyakan berisi hadis marfu’, sedikit dan jarang sekali memuat khabar mauquf .
* * *
1. SUNAN ABU DAWUD
Penyusunnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Azdi as-Sijistani. Beliau mengkhususkan kitabnya dengan hadis-hadis hukum, di dalamnya tidak terdapat kitab zuhud dan fadha-ilul a’mal. Di dalam surat beliau kepada penduduk Makkah, dalam mengomentari kitabnya sendiri (h.34), beliau berkata, “Dan tidaklah aku menyusun di dalam kitab as-Sunan ini melainkan hadis-hadis hukum, tidak aku masukkan kitab zuhud, fadha-ilul a’mal dll”
Kitab beliau yang bernama as-Sunan adalah salah satu kitab yang sangat dibutuhkan, hanya saja beliau tidak mempersyaratkan derajat sahih untuk hadis yang tercantum di dalamnya. Sehingga di dalamnya berisi hadis sahih, hasan, shalih, dla’if, dan munkar.
Beliau juga tidak mempersyaratkan disebutkannya semua hadis tentang suatu bab, tetapi hanya dipilihkan yang bermanfaat saja, dan kadang-kadang beliau menyebutkan satu hadis dari jalan yang berbeda-beda karena ada ziyadah, baik dalam matan maupun sanad. Dan kadang-kadang pula dibicarakan pada sebagian hadis tentang i’lalnya, menyebutkan ikhtilaf (perbedaan) perawinya.
Beliau telah membicarakan kitab Sunannya secara terperinci di dalam surat yang beliau tulis untuk penduduk Makkah. Ini adalah surat yang sangat bermanfaat, semoga Allah swt. Memberikan rahmat kepada beliau dengan rahmat yang luas.
* * *
2. JAMI’ AT-TIRMIDZI
Penyusunnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, bin Musa bin adh-Dlahhak as-Sulami, al-Bughi, at-Tirmidzi. Beliau mengalami kebuta-an di akhir usianya.
Sebagaimana yang telah saya baca di dalam suatu manuskrip kitab Jami’ yang mu’tamad, yang benar kitab Imam Tirmidzi bernama al-Jami’ al-Kabir. Kemudian ada yang menyebutnya secara berlebihan dengan nama al-Jami’ ash-Shahih, tetapi nama inilah yang masyhur. Hanya saja, di dalam kitab ini terdapat sejumlah hadis dla’if, munkar, dan maudlu’.
Tirmidzi adalah murid Imam Bukhari, dan pengikut beliau dalam metode penulisan hadis. Beliau juga banyak menukil pendapat Imam Bukhari dalam membicarakan kondisi periwayat, sima’ (cara mereka mendengarkan hadis), dan i’lal terhadap hadis periwayat tersebut.
Metode penulisan Kitab Jami’ ini berbeda dengan metode yang digunakan oleh Abu Dawud dalam menuliskan kitab Sunan, khususnya at-Tirmidzi memasukkan bab-bab tentang zuhud dan fadha-ilul a’mal, bab yang tidak dicantumkan di dalam Sunan Abu Dawud.
Kitab ini adalah kitab yang menyeluruh, besar manfaatnya, terkumpul di dalamnya ilmu riwayah hadis, dirayah, i’lal, ahwal rijal, dan madzhab-madzhab ahli ilmu dalam bab fiqh. Hanya saja at-Tirmidzi di dalam kitabnya ini menggunakan istilah-istilah tersendiri untuk menyebut status kualitas hadis-hadisnya. Tindakan ini memungkinkan terjadinya perbedaan pengertian dengan para ulama’ lainnya. Istilah itu antara lain hasan sahih, hasan gharib, hasan sahih gharib, atau hasan laisa isnaduhu bidzalika al-qaim (hasan tetapi sanadnya tidak lurus).
Di dalam buku ini bukan tempatnya untuk menjelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut. Saya telah membahasnya secara sederhana di dalam Syarah (penjelasan) terhadap kitab al-Mauqidhah karya adz-Dzahabi, dan al-Hasan fi mizan al-Ihtijaj. Dan kadang-kadang at-Tirmidzi terlalu sembrono dalam menentukan status tersebut, dengan segala perbedaannya, sebagaimana telah saya jelaskan di dalam beberapa tulisan.
Secara umum kitab ini termasuk kitab yang sangat bermanfaat.
* * *
3. SUNAN AN-NASA’I
Penyusunnya adalah Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar Abu ‘Abdurrahman an-Nasa’i.
Di dalam kitab sunan ini terdapat hadis sahih, dla’if, dan sangat dla’if.
Adalah suatu kesalahan apabila ada yang menganggap hadis dalam Sunan an-Nasa’i semuanya sahih. Di dalam kitab ini ada ungkapan terhadap sebagian hadis yang tidak difahami dengan baik kecuali oleh orang yang telah diberikan ilmu dan pengetahuan oleh Allah. Di dalam kitab ini terdapat pembahasan tentang i’lal dan perbedaan pendapat. Kitab ini terhadap kitab-kitab sunan bagaikan satu mutiara di dalam untaian permata
Apabila disebut Sunan an-Nasai saja maka yang dimaksudkan adalah Sunan al-Mujtaba, yaitu sunan karya beliau yang Sughra, Beliau juga memiliki Sunan Kubra. Kitab al-Mujtaba bukanlah kitab hasil ringkasan murid beliau, Ibnu as-Suni, sebagaimana didakwakan oleh sebagian ulama. Al-Mujtaba’ adalah karya beliau dan hasil seleksi beliau. Allahu a’am.
* * *
4. SUNAN IBNU MAJAH
Penyusunnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, ar-Rabi’iy al-Qazwainiy.
Kitab beliau ini cukup bermanfaat, hanya saja kedudukannya di bawah lima kitab hadis terdahulu. Di dalam kitab ini terdapat banyak hadis-hadis dla’if, dan sejumlah hadis.
Catatan;
Apabila ahli hadis mengatakan, “Hadis yang diriwayatkan atau dikeluarkan oleh as-Sittah” maka maksud dari ungkapan tersebut adalah hadis yang dicantumkan di dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
Dan apabila dikatakan, “Diriwayatkan atau dikeluarkan oleh al-Arba ’ah”, maka yang dimaksudkan adalah Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
* * *
5. MUWATHTHA’ IMAM MALIK
Kitab Muwaththa’ adalah, kitab yang ditulis dengan urutan sesuai bab-bab fiqh, hanya saja berbeda dengan kitab Sunan dari segi kandungan kadis marfu’, mauquf dan maqthu’
Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amru bin al-Harits, Abu Abdillah al-Madaniy, syaikhul Islam, dan Imam Darul Hijrah.
Muwaththa’ memuat hadis sahih yang jumlahnya sangat besar, dan sedikit hadis dla’if. Di dalamnya terdapat kata mutiara yang tidak ada hukumnya kecuali apabila jelas sanadnya.
Tentang kitab ini Imam Syafi’i berkomentar, “Aku tidak mengatahui adanya kitab yang paling sahih setelah kitabullah, selain dari muwatha’ karya Imam Malik”. Komentar Imam syafi’i ini dikemukakan sebelum adanya kitab shahih Bukhari dan Muslim. Sebab ummat telah sepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Alqur’an adalah shahihaini.
Di dalam kitab al-Muwaththa’ ada pendapat-pendapat dan hukum-hukum menurut imam Malik yang harus dipegangi dengan kuat.
* * *
6. MUSNAD IMAM AHMAD
Musnad adalah kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat, lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun, dengan mengesampingkan tema hadis.
Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas, paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Ada yang mengatakan, kitab ini memuat sekitar 40.000 hadis, ada yang menyebutkan 30.000 hadis, atau mendekati angka tersebut. Sesungguhnya naskah Musnad Imam Ahmad yang sudah dicetak berulang-ulang kandungan hadisnya mencapai 27.688 buah hadis. Allahu A’lam bish-Showab.
Kitab ini memuat hadis sahih, hasan dan da’if, bahkan di dalamnya terdapat pula beberapa hadis maudlu’, meskipun hanya sedikit, tidak seperti pengakuan sebagian orang yang menyangka tiada hadis maudlu’ di dalam kitab ini.
Kitab ini merupakan salah satu kodifikasi hadis yang sangat diperlukan, oleh ummat Islam. Penyusun memulai kitabnya dengan musnadnya 10 orang shahabat yang telah dijanjikan sorga, didahulukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, kemudian shahabat yang lainnya yang termasuk sepuluh itu. Kemudian disebutkan hadis Abdurrahman bin Abu Bakar, kemudian tiga hadis dari tiga orang shahabat, kemudian musnad ahlul Bait,dia menyebutkan hadis-hadis mereka, demikian seterusnya sampai tuntas dengan hadis Syidad bin al-Had ra .
H. Soal-Soal Diskusi
1. Apa perbedaan antara:
a. Atsar dan Khabar
b. Hadis washafy dan hadis Qauli
c. Sunan dan Mustakhraj
d. Musnad dan Muwaththa’
2. Definisikanlah istilah-istilah berikut ini:
a. Hadis
b. Hadis sahih
c. Kedhabithan dan keadilan
3. Jawablah pertanyaan berikut ini:
a. Ada berapa macamkah pembagian dlabith itu? Berikan penjelasan terhadap masing-masing bagian!
b. Apa hukum ziyadah terhadap hadis shaihaini di dalam kitab Mustakhraj?
c. Siapakah yang pertama kali memberikan perhatian terhadap usaha pembukuan hadis nabi?
4. Apakah perbedaan antara Muwaththa’ dengan Shahih Bukhari dan Muslim. Jelaskan manakah di antara ketiganya yang paling sahih?
I. Hadis Hasan
Definisi
مَا اسْتَوْفَى شُرُوْطُ الصِّحَّةِ إِلاَّ أَنَّ أَحَدَ رُوَاتِهِ أَوْ بَعْضَهُمْ دُوْنَ رَاوِي الصَّحِيْحِ فِي الضَّبْطِ بِمَا لاَ يَخْرِجُهُ عَنْ حَيِّزِ اْلإِحْتِجَاجِ بِحَدِيْثِهِ
Adalah hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih , hanya saja kualitas dhabth (keakuratan) salah seorang atau beberapa orang rawinya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih, tetapi hal itu tidak sampai mengeluarkan hadis tersebut dari wilayah kebolehan berhujjah dengannya.
Hadis seperti ini disebut hasan lidzatihi
Penjelasan Definisi
Hadis yang memenuhi syarat sebagai hadis sahih. Dalam hal ini syarat hadis sahih adalah;
1. Adanya sanad sampai kepada Rasulullah saw.
2. Persambungan sanad sampai kepada Rasulullah saw.
3. Tiadanya syadz (keganjilan)
4. Tiadanya illah (cacat tersembunyi)
Sedangkan syarat dlabth menjadi titik pembeda antara keduanya. Rawi hadis hasan tingkat dlabthnya berada di bawah kualitas rawi hadis sahih. Periwayat hadis hasan biasanya disebut dengan istilah, shaduq (jujur), laa ba’sa bih (tidak apa-apa), siqah yukhthi’ (terpercaya tetapi banyak kesalahan), atau shaduq lau awham (jujur tetapi diragukan)
Contoh hadis hasan; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Quththan di dalam Ziyadah ‘ala Sunan Ibni Majah (2744) dengan jalan
يَحْيَ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادَّعَا نَسَبَ لاَ يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحَّدَهُ، وَإِنْ دَقَّ، وَسَنَدُهُ حَسَنٌ
Yahya bin Sa’id, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata; Rasulullah saw bersabda; “kafirlah orang yang mengaku-aku nasab orang yang tidak diketahuinya, atau menolak nasab (yang sebenarnya), meskipun samar” Hadis ini sanadnya hasan.
Di dalam sanad hadis ini terdapat Amr bin Syu’aib bin Muhammad, bin Abdullah bin Amr bin al-Ash. al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqrib (2/72) mengatakan, bahwa ia adalah shaduq.
J. Hadis Shahih Lighairihi
Definisi
الْحَسَنُ لِذَاتِهِ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍ مِثْلَهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ، وَسُمِّيَ صَحِيْحًا لِغَيْرِهِ لِأَنَّ الصِّحَّةَ لَمْ تَأْتِ مِنْ ذَاتِ السَّنَدِ، وَإِنَّمَا جَاءَتْ مِنْ انْضِمَامِ غَيْرِهِ إِلَيْهِ
Adalah hadis hasan lidzatihi apabila diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat atau lebih kuat darinya. Dan dinamakan hadis shahih lighairihi, karena keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi karena bergabung dengan sanad yang lain .
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan dari jalan lain yang setingkat; Maksudnya adalah ada riwayat dengan sanad lain yang menyamai kekuatan dlabthnya.
Sedangkan yang lebih kuat; yaitu hadis sahih lidzatihi
Dinamakan hadis shahih lighairihi; menjadi hadis sahih karena bergabungnya dua jalan.
Keshahihannya tidak datang dari sanadnya sendiri; Maksudnya ketetapan-nya sebagai hadis sahih tidak didasarkan pada satu sanad saja, melainkan karena digabungkannya dengan sanad yang lain yang sama atau lebih kuat.
K. Hadis Dla’if
Definisi
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadis sahih)
Penjelasan Definisi
Tidak terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah dibahas, antara lain;
1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2. Sanadnya bersambung
3. Rawinya ‘adil dan dlabith
4. Tidak mengandung syadz
5. Tidak ada illah
Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis; Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.
Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.
Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk
Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
L. Pembagian Hadis Dla’if
Hadis dla’if menurut derajat kedla’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;
1. Hadis yang kedla’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadis yang setingkat dengannya akan hilang dla’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dla’if yang masih ditulis hadisnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalam sanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadlis.
2. Apabila tingkat kedla’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
Contoh Hadis Dla’if berat, dengan sebab kedla’ifan dalam hal ‘adalah (keadilan) adalah; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Iqtidla’ al-Ilmi al-‘Amali (69) dengan jalan;
عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidilah al-Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda; Apabila seorang berilmu mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadis”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadis”. Al-Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan hadisnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadis tersebut melalui sanad ini adalah maudlu’, karena kedla’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh hadis Dla’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dlabth, yaitu hadis yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu al-Auliya’ (8/252) dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ، حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ، فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah al-Urmuzi, dari Shofwan bin Salim, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah. Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.
Di dalam sanad hadis ini, Muhammad bin Ubaidullah al-‘Urzumiy adalah rijal yang matruk (ditinggalkan hadisnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalih tetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadis dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadis tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadis meninggalkan hadisnya.
M. Hadis Hasan Lighairihi
Definisi
الضَّعِيْفُ الْمُحْتَمَلُ الضُّعْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya, apabila jalannya banyak
Ada pula yang mendefinisikan dengan;
مَا كَانَ ضَعْفُهُ مُحْتَمَلاً فَعَضَدَهُ مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَى مِنْهُ
Apabila kedla’ifannya ringan, lalu dikuatkan dengan hadis yang serupa atau yang lebih kuat darinya
Penjelasan Definisi
Hadis dla’if yang ringan kedla’ifannya; yaitu hadis yang datang dengan sanad yang kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Apabila jalannya banyak; dengan adanya satu mutabi’ atau lebih yang semisal atau lebih kuat lagi.
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh al-Bazar di dalam kitab Musnad, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Majma’ az-Zawaid (10/166), Ibnu Syahin di dalam Fadla’il Syahr Ramdlan (h.7), Abdul Ghina al-Maqdisy di dalam kitab Fadlail Ramadhan (h.12) dengan jalan dari;
سَلَمَة بْنُ وَرْدَانٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: رَقَى رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، ثُمَّ ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: آمِيْنٌ، … الْحَدِيْثُ فِي فَضَائِلِ رَمَضَانَ
Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw naik ke mimbar, beliau naik satu tangga kemudian mengucap, “Amin”, kemudian naik satu tangga lagi dan mengucap “Amin”…… Hadis tentang keutamaan Ramadlan.
Salamah bin Wardan adalah rijal yang dla’if, dalam hal hafalan, dia meriwa-yatkan beberapa hadis dari Anas bin Malik yang tidak sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah, hanya saja kedla’ifannya ringan, tidak berat.
Hadis ini diikuti oleh Tsabit al-Banani, yang juga meriwayatkan dari Anas bin Malik. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (h.4). Tetapi dalam riwayat inipun terdapat kedla’ifan yang ringan juga. Di dalam sanad kepada Tsabit ada Mu’ammal bin Isma’il, yang hafalannya juga lemah.
Dengan bergabungnya dua jalan ini, hadis tersebut menjadi hasan.
N. Soal-soal Diskusi
1. Definisikan berikut ini
a. Hadis Hasan Lidzatihi
b. Hadis Shahih Lighairihi
c. Hadis Hasan Lighairihi
2. Apa perbedaan antara hadis shahih lighairihi dengan hadis hasan lighairihi?
3. Manakah yang lebih kuat di antara jenis-jenis hadis berikut ini?
a. Hasan lidzatihi dan hasan lighairihi
b. Shahih lighairihi dan hasan lighairihi
c. Shahih lidzatihi dan hasan lighairihi
4. Apa yang dimaksud dengan dla’if ringan dan dla’if berat?
O. Hadis Dla’if Karena Cacat pada Sanad
1. Mursal
Definisi
مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadis yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadis dari shahabat- kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadis mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya al-Mushannaf (5281)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum”
Atha’ dalam hadis di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadis dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.
Hukum Berargumen dengan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadis dla’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah ash-Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadis tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedla’ifan hadis mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedla’ifannya atau lebih sahih darinya selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.
Hadis yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling sahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi saw, maka kebanyakan hadis mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dlol.
2. Munqathi’
Definisi
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
Penjelasan Definisi
Apabila di tengah-tengah rangkaian sanadnya ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih selama tidak terputus secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada generasi di bawah tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi setelahnya. Sedangkan apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka namanya mursal.
Contoh; Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan (3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ الْقُنُوْطِ
Musa bin Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari al-Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadis tentang do’a qunut.
Sanad hadis ini inqitha’. Al-Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab at-Talkhish al-Khabir (1/264), “Abdullah bin ‘Ali adalah Ibnu al-Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan al-Hasan bin Ali”
3. Mu’dlol
Definisi
مَا سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ رَاوِيَانِ أَوْ أَكْثَرُ بِشَرْطِ التَّوَالِي
Apabila dari sanadnya hilang dua rawi atau lebih dengan syarat secara berurutan
Penjelasan definisi
Hilang dua rawi atau lebih, yang dimaksudkan adalah para rawi di atas guru penyusun kitab .
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286), dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;
ذُكِرَ لَنَا أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلكَعْبَتَانِ مِنْ مَيْسَرِ الْعَجَمِ
Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda, kedua mata kaki adalah kemudahan Bangsa ‘Ajam (non-Arab)
Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi, Riwayatnya dari tabi’in besar sangat agung, Pendapat yang lebih kuat, dalam sanad ini beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang rawi, yaitu seorang tabi’in dan seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan mu’dlol. Dan hadis mu’dlol derajatnya di bawah mursal dan munqathi’, karena banyaknya rawi yang hilang dari sanad secara berurutan.
4. Muallaq
Definisi
مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ
Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang periwayat atau lebih dan seterusnya sampai akhir sanad.
Penjelasan Definisi
Awal Sanad, dihitung dari penyusun kitab.
Seorang rawi atau lebih, yaitu gurunya penyusun kitab, gurunya sang guru, dan seterusnya dihilangkan sanadnya
Sampai akhir sanad, tempat dimana dikatakan, “Rasulullah saw bersabda”, atau “Diriwayatkan dari Rasulullah saw”
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab: Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,
قَالَ مَالِكٌ، أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَّارٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلْفَهَا، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصِ الْحَسَنَةِ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِئَةٍ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا، إِلاَّ يَتَجَاوَزُ اللهُ عَنْهَا
Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.
Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik melalui perantara seorang rawi.
Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya ash-Shahih, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Ja’a fi Ghusli al-Baul, (1/51)
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِ الْقُبْرِ: كَانَ لاَ تَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu dia tidak mem-bersihkan kencingnya.
Al-Bukhari menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi saw bersabda”.
Hukum Hadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain
Hadis Mu’allaq adalah dla’if yang tidak bisa digunakan untuk menjadi hujjah, karena hilangnya seorang rawi atau lebih. Tetapi apa hukumhadis Mu’allaq yang ada di dalam kitab Shahihain.
Adapun Mu’allaq yang ada di dalam Shahih Muslim, jumlahnya hanya sedikit saja dibandingkan dengan hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahih al-Bukhari. Hadis Mu’allaq di dalam Shahih Muslim jumlahnya hanya tiga belas hadis, sebagian di antaranya telah disebutkan secara bersambung oleh Muslim sendiri. Sebagian lagi disebutkan secara bersambung oleh ulama’ hadis yang lain. Dan sebagian yang lain disebutkan disebutkan sebagai tabi’ dan syahid.
Hukum hadis mu’allaq yang ada di dalam Shahihain adalah;
1. Riwayat yang disebutkan dengan kalimat positif, seperti dalam ungkapan, “Fulan berkata”, “Fulan menyebutkan”, “Fulan mengisahkan”, atau “Fulan meriwa-yatkan”. Maka riwayat itu sahih sampai kepada orang yang ia ta’liqkan itu. Sedangkan sanad yang lain tetap perlu diteliti, karena bisa jadi sanad itu sahih dan bisa pula dla’if.
Contoh; riwayat yang disebutkan mu’allaq oleh Bukhari dari Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudriy, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hadis ini dimu’allaqkan oleh al-Bukhari dengan ungkapan yang pasti dari Imam Malik, yaitu “Malik berkata”. Hadis ini sahih dari riwayat Imam Malik. Tetapi rawi lainnya perlu diteliti ‘adalah dan dlabthnya, serta syarat-syarat kesahihan yang lain.
Contoh lainnya, hadis yang dimu’allaqkan oleh al-Bukhari dari Nabi saw tenang adzab kubur. Rasulullah saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dia tidak membasuh kencingnya.. Al-Bukhari menegaskan dari Rasulullah saw, artinya riwayat itu benar dari Rasulullah saw sebagaimana disebutkan secara bersambung di beberapa tempat di dalam kitab Shahihnya
2. Hadis mu’allaq yang disebutkan dalam bentuk kalimat negatif, seperti dalam ungkapan, “Diriwayatkan dari si Fulan”, “Disebutkan dari si Fulan”, atau “Dikatakan…”. Ungkapan ini terasa lemah bagi ahli hadis sampai kepada orang yang dimu’allaqkannya
Contoh; Hadis yang dimu’alaqkan oleh al-Bukhari di dalam kitab ash-Shahihnya (1/74-75), Kitab ash-Shalat, Bab: Wujub ash-Shalat fi ats-Tsiyab.
وَيُذْكَرُ عَنْ سَلَمَةِ بْنِ اْلأَكْوَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَزُرُّهُ وَلَوْ بِشَوْكَةٍ فِيْ إِسْنَادِهِ نَظْرٌ
Disebutkan dari Salamah bin al-Akwa’ bahwa Nabi saw bersabda, “bersarunglah meskipun dengan duri. Rawi di dalam sanadnya perlu diteliti.
Catatan;
Di sini perlu diberikan catatan, bahwa al-Bukhari kadang-kadang memu’allaqkan hadis dari gurunya dengan kalimat positif, maka tidak perlu dianggap adanya rawi yang hilang antara beliau dengan gurunya. Dan menurut ahli ilmu hal ini dianggap sebagai muttashil, kecuali ibnu Hazm adh-Dhahiriy, ia berbeda pendapat dengan yang lainnya dan berkata, hadis itu termasuk munqathi’ (terputus)
Di antara contoh hadis seperti itu adalah; Imam al-Bukhari berkata di dalam ash-Shahih, Kitab al-Asyribah, Bab: Ma Ja’a Fiman Yastahillu al-Khamra wa Yusmiihi Bighairi Ismihi (3:322),
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ، قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ - أَوْ أَبُو مَالِكٍ- الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي، سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ، فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Telah berkata Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami shaqadoh bin Khalid, telah bercerita kepada kami ‘Athiyyah bin Qais al-Kilabi, Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ghanam al-Asy’ari, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Abu Amir –disebut juga dengan Abu Malik- al-Asy’ari, Demi Allah, ia tidak menipuku, ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Akan ada di antara ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan dawai. Dan sungguh akan turun suatu kaum di dekat gunung, mereka membawa gembalaan mereka. Lalu ada orang fakir mendatangi mereka karena ada keperluan. tetapi mereka mengatakan, “Datanglah kepada kami besok. Lalu Allah menidurkan mereka, dan menimpakan gunung (kepada sebagian mereka) dan mengubah lainnya menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.
Hisyam bin ‘Ammar termasuk guru al-Bukhari yang pernah ditemuinya secara langsung, didengar hadisnya, bahkan dia mengajarkan pula hadis darinya, maka menta’liqkan hadis darinya tidak berarti terputus sama sekali. Wallahu a’lam
5. Mudallas
Definisi
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadis) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadis yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari” atau “ia berkata”
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadis, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadis dari al-Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadis. Hanya pada hadis ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadis ini tidak ia dengarkan langsung dari al-Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadis tersebut dari Abu Dawud al-A’ma (namanya adalah Nafi’ bin al-Haris), sedangkan ia matruk (tertolak hadisnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadis di dalam kitab al-Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku menemui al-Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda… ia menyebutkan hadis di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadis tersebut berasal dari Abu Dawud al-A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadis tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadis Abu Ishaq dari al-Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam kitab al-Jami’, dengan jalan;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku mendengar rasulullah saw bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadis tersebut dengan sanad (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadis dengan matan seperti di atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan hadis ini dari Ibnu ‘Ajlan .
Macam-macam Tadlis
Pertama, Tadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah disebutkan di atas.
Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadis-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah. Hal itu dilakukan karena kedla’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi saw, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadis tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku”. Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadis ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadis” Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata, “hadisnya sangat munkar, dan ditinggalkan”
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorang muhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku al-Bukhari”, yang dimaksudkan dengan kata al-Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh al-Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai” yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau al-Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadis di Andalus” yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
Keempat, Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan mengajarkan hadis kepadaku”, padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadis dari orang yang kedua.
Contoh, Hadis yang disebutkan oleh al-Hakim di dalam ‘Ulum al-Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis- pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadis yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadis yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’”.
Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadis mengatakan haddatsana (telah mengajarkan hadis kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadis dari Hisyam.
Contoh, hadis yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam al-Kamil fi adl-Dlu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada kami)” kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadis darinya)
Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedla’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadis tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah al-Walid bin Muslim dan Baqiyah bin al-Walid.
Hukum ‘An‘anah seorang mudallis
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadis dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadis secara sima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadis. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan hadisnya dan menguji riwayatnya.
Tingkatan Mudallis
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
1- Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id al-Anshari
2- Orang yang tadlisnya ringan, dan hadisnya masih disebutkan di dalam kitab ash-Shahih karena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
3- Orang yang hadisnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar” dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa hadisnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi dan Abu Ishaq as-Sabi’i
4- Orang yang disepakati oleh ahli hadis untuk tidak berhujjah dengan hadisnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
5- Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, hadisnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab al-Kalbiy dan Abu Sa’id al-Biqal
Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara keduanya dalam hal tidak mendengar hadis dari orang yang disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada hukum ‘an‘anah dari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadis meriwayatkan hadis dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadis darinya. Dalam meriwayatkan hadis itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari” atau “ia berkata”.
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran al-A’masy, dari Anas bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak menerima hadis darinya. Ia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik yang dia dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin al-Madiniy berkata; al-A’masy tidak pernah menerima hadis dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakan mursal, bukan mudallas, meskipun al-A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan al- Basri, ia melihat Utsman bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan al-Basri sama sekali tidak mendengar hadis yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu periwayatan Hasan al-Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal terletak pada cara sima’nya seorang muhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadis darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadis dari seorang guru yang ia dengar hadis darinya, tetapi hadis itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadis dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadis darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.
Tambahan; Perbedaan antara Tadlis dan Irsal.
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadis secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis- maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallis, thabaqatnya dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin li Asma’ al-Mudallisin, karangan Burhanuddin al-Halabiy.
- Ta’rif Ahlu at-Taqdis bi Maratib al-Maushufin bi-at-Tadlis, karangan al-Hafidz Ibnu Hajar.
- Jami’ at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, karangan al-Hafidz Shalahuddin al-‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadlilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
Soal-soal Diskusi
1. Sebutkan definisi masing-masing istilah berikut ini ;
a. Irsal
b. Tadlis
c. I’dlal
2. Apa perbedaan antara istilah-istilah berikut ini
a. Tadlis dan irsal khafi
b. Tadlis Syuyukh dan tadlis bilad
c. Tadlis ‘Athf dan Tadlis sukut
3. Apakah hadis mu’allaq itu?
4. Hadis-hadis Mu’allaq yang terdapat di dalam kitab Shahihaini dibagi menjadi berapa bagian? Dan apa hukum masing-masing bagiannya?
Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi
Telah kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya suatu hadis adalah para rawi memiliki sifat ‘adalah dan dlabth. Dan juga telah kita bicarakan bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, fasik dan bid’ah. Cacat pada keadilan disebabkan oleh empat hal, yaitu
a. Dusta
b. Tertuduh berdusta
c. Tidak dikenal (Jahalah)
d. Bid’ah
Pada bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya –atau sebagian di antara para rawinya.
1. Maudlu’
Definisi
مَا كَانَ رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ
Apabila rawinya pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].
Penjelasan Definisi;
Rawinya pendusta, maksudnya salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.
Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
مُحَمَّدٌ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ شَهِيْدًا عُثْمَانَ
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.
Contoh lain, Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no. 2) dari jalan sebagai berikut
عَنْ زِيَادُ بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan”
Di dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi, ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw
Yazid bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu ia berkata, Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.
Hukum meriwayatkan hadis maudlu’
Meriwayatkan hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.
Hadis maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’. Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.
2. Hadis Matruk
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ
Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta
Sebagian ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham (tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.
Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui;
جُوَيْبِرْ ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.
Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.
Catatan;
Sebagian rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula yang menyebut wah (lemah) dan lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’. Allahu A’lam.
Pembahasan Tentang al-Jahalah
Adanya rawi yang tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab ditolak-nya suatu riwayat. Jahalah terbagi menjadi dua bagian;
1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya
Di antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362), “Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga, dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh.
2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak mengemukakan jarh wa ta’dilnya.
Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak dianggap siqah
Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?
Mayoritas ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul hal ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang membedakan antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih ringan daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat, maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah (adanya penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke dalam kategori berat.
Contoh Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),
حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu Luhai’ah menceritakan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash, dari Saib bin Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa Nabi saw apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya dengan kedua tangannya.
Hafsh bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Contoh hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari
شَرِيْكٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual
Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.
3. Hadis Mubham
Definisi
الْمُبْهَمُ مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ
Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan jalan
عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa penipu lagi keji
Rawi di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau penyakit, juga termasuk mubham.
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari
مَحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي اْلأَنْصَارِي أَنَّ رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ
Muhammad bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis tentang shalat tasbih.
Hukum Hadis Mubham
Hadis Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena semua shahabat itu adil.
Mubham matan.
Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat pada sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw, beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah, dan mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita, yang kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal
Disembunyikannya nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.
Pembahasan Tentang Bid’ah
Bid’ah sebagaimana telah saya sebutkan pada sebab-sebab dlaif karena cacat pada keadilan rawi. Tetapi apakah hadis dari orang yang melakukan bid’ah tertolak secara mutlak ataukah ia bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Hal ini secara terperinci akan dibahas pada bagian kedua dari buku ini, yaitu dalam Jarh wa Tadil untuk pemula
Soal-soal Diskusi
1. Apa sebab-sebab yang meniscayakan cacat pada keadilan rawi?
2. Definisikan berikut ini
a. Hadis Maudlu
b. Hadis Matruk
3. Apa perbedaan antara hal-hal berikut ini
a. Jahalah Hal dan Jahalah ain
b. Mubham sanad dan Mubham matan.
Hadis Dla’if karena Kelemahan pada Kedlabithan Rawi
Dlabt, sebagaimana yang telah didefinisikan terdahulu adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadis dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadis dari gurunya itu, ia akan mengajarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya
Dan telah kami sebutkan bahwasannya dlabth merupakan salah satu syarat kesahihan hadis, apabila rawi mengalami sedikit kekurangan pada akurasinya (dlabth) dibandingkan dengan periwayat hadis sahih, maka hadisnya menjadi hasan.
Adapun apabila kurangnya akurasi menyebabkan banyaknya kesalahan di dalam periwayatan maka hadisnya menjadi dla’if yang tertolak.
Akurasi periwayat diketahui dari kesesuaiannya dan perselisihannya dengan rawi lainnya yang siqah. Apabila riwayat seorang rawi sesuai dengan riwayat para rawi yang siqah, bahkan hampir tidak ada perbedaan, maka ia dikatakan dlabith, dan dia termasuk rawi yang sahih.
Apabila kesesuaiannya terdapat pada kebanyakan riwayatnya, dan ada beberapa riwayat yang berbeda dengan periwayatan rawi yang siqah, maka derajat periwaya-tannya ada di bawah derajat sahih, dan hadisnya diketegorikan hadis hasan.
Apabila perbedaan riwayat lebih banyak terjadi dari pada kesamaannya maka ia menjadi dla’if, dan hadisnya tertolak, kecuali apabila ada tabi’nya. Dengan adanya tabi’ maka hadisnya menjadi hasan, sebab adanya akumulasi jalan sanad .
Apabila seorang rawi terbiasa berbeda dengan periwayatan rawi yang sahih, dan sangat sedikit kesamaannya maka ia dikatakan banyak kesalahan, sehingga hadisnya matruk dari segi hafalannya.
Hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi semacam ini –yang sedikit dlabthnya- dikelompokkan menjadi bermacam-macam tingkat sesuai kadar kelemahannya, Jenis-jenis inilah yang akan kami jelaskan pada bab-bab selanjutnya.
1. Hadis Munkar
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat.
Penjelasan Definisi
Diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if; Maksudnya, adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat, atau yang setingkat apabila kedla’ifannya ringan.
Bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat; dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadis dalam bentuk yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) al-Bazzar di dalam Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari an-Nadlr bin Syaiban
حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شَيْبَانَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدِّثْنِي بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ بَيْنَ أَبِيكَ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku hadis yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku, Rasulullah saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya. Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya
Pada sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi yang dla’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu ketika ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis dari ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.
Yang kedua, hadis seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang siqah (terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh), seperti Yahya bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan teks;
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul qadr dengan keimanan dan perhitungan maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu
Dengan demikian An-Nadlr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih terpercaya dan lebih banyak sanad hadis dan matannya. Dan hadis dari jalannya adalah munkar.
Contoh lain; Hadis yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’ (3386) dengan jalan dari Hammad;
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْجُمَحِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa al-Juhani, dari Handhalah bin Abu Sufyan al-Juhami, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah saw apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap wajah beliau dengan kedua tangannya.
Setelah mengeluarkan hadis ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis gharib, aku tidak menjumpainya kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya seorang diri”
Hammad bin Isa adalah dla’if hadisnya, Abu Hatim berkata, “Dia dla’if”. Abu Dawud berkata, “Dia dla’if, dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar”. Al-Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudlu’ dari Ibnu Juraij dan Ja’far ash-Shadiq”
Dengan demikian hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang diri termasuk hadis munkar.
CATATAN
Dalam bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…
Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita sebutkan bahwa ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak para imam terdahulu menyebut hadis maudlu’ dengan nama munkar, karena pembedaan antara munkar dan maudlu’ ini terjadi pada ulama’ mutaakhkhirin.
Kedua; Sebagian ahli hadis menyatakan tentang munkarnya hadis gharib, lalu mengatakan “Ini adalah hadis gharib, maksudnya adalah hadis munkar, sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadis maudlu’.
Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja, tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan suatu hadis dengan teks tertentu, dan ada rijal dla’if yang meriwayatkan hadis dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadis dari an-Nadlr bin Syaiban (contoh 1)
Atau sejumlah rijal yang siqah meriwayatkan hadis, dan rijal yang dla’if meriwayatkan hadis dengan teks yang sama, hanya saja ia memberikan ziyadah (tambahan) pada matan hadis, dengan suatu tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah.
Contoh. Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/101,282), Bukhari (1/40), Muslim (1/283), Abu Dawud (4-5) Tirmidzi (5-6) an-Nasa’I dalam al-Yaum wa al-Lailah (74) dan lain-lainnya dengan jalan dari Abdul Aziz bin Shuhaib
عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia berkata; Nabi saw apabila memasuki wc berkata, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Tetapi di dalam hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan jalan dari Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dla’if hadisnya, dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi saw apabila memasuki wc membaca do’a,
بِسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Dengan nama Allah, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina
Hadis ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah, hanya saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka tambahan ini munkar.
Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang hadisnya dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi yang dla’if, seperti hadis Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah hafidh hanya saja riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya ketika masih sangat kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadis yang menguatkan) dari rijal yang siqah, maka periwayatannya seorang diri itu dinilai munkar.
Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah derajat siqah dalam hal dlabth sehingga hadisnya dinilai hasan, kadang-kadang hadisnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya, hadis yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350) dengan jalan dari Hammad bin Salamah
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, bersabda; Apaila salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.
Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, hadisnya hasan dalam riwayat yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Dia telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis Abu Salamah. Ibnu Ma’in berkata, “Ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya, kemudian meriwayatkan hadis itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadis ini seorang diri dari Abu Salamah, dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadis ini munkar, jika dibandingkan dengan matan hadis dari Aisyah ra, yang tersebut di dalam shahihain secara marfu’;
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar.
Kata-kata Rasulullah saw, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan” berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadis Abu Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.
Dengan demikian hadis ini munkar, padahal hadis datang dari rawi yang shaduq, yang secara umum hadisnya hasan.
Kedua; bahwa rawi yang shaduq, atau siqah yang tersalah pada beberapa riwayatnya apabila meriwayatkan hadis dari seorang hafidh yang masyhur memiliki murid cukup banyak, tetapi ia meriwayatkannya seorang diri, tidak ada murid lain yang membawakan riwayat yang sama dari seorang hafidh tersebut, maka riwayatnya sendiri itu munkar. Seperti yang diisyaratkan oleh Imam Muslim ra di dalam muqaddimah kitab Shahihnya,
“Keputusan ahli Ilmu (hadis), dan orang yang kami ketahui madzhabnya tentang diterima periwayatan hadis yang diriwayatkan secara munfarid, adalah bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan pula oleh ahli-ahli ilmu dan hafidz yang siqah di antara periwayatan mereka. Dan terlebih lagi pada periwayatan itu terdapat kesesuaian. Apabila ditemukan keadaan demikian, kemudian ia menambahkan suatu teks yang tidak ada pada rijal lainnya, maka tambahan itu dapat diterima”.
Adapun orang yang setingkat dengan az-Zuhri karena kebesarannya dan banyaknya murid yang hafidz (banyak menghafa hadis) mutqin (terpercaya) baik pada hadis dari az-Zuhri ataupun hadis lainnya, atau yang sekelas Hisyam bin Urwah. Hadis dari kedua tokoh tersebut menurut para ulama' telah tersebar luas di negeri Islam. Murid-murid keduanya telah menukil hadis dari mereka, bahkan hadis-hadis yang disepakati di antara mereka jumlahnya cukup banyak. Lalu ada salah seorang diantara murid dari keduanya, atau murid salah satu di antara keduanya meriwayatkan hadis yang tidak dikenal oleh seorang pun di antara murid mereka. Dan rawi yang meriwayatkan itu pun juga tidak pernah meriwayatkan hadis dari guru mereka yang sama dengan hadis sahih yang diriwayatkan oleh para murid yang lain. Maka hadis seperti ini tidak boleh diterima.
Contohnya adalah hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra (4/316) dan adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/18) dengan jalan;
مَحْمُوْدُ بْنِ آدَمَ الْمَرْوَزِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَامِعٍ بْنِ أَبِي رَاشِدْ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ –يَعْنِي ابْنِ مَسْعُوْدٍ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عُكُوْفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِي مُوْسَى، وَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، أَوْ قَالَ عَبْدُ اللهِ : إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الثَّلاَثَةِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : لَعَلَّكَ نَسِيْتَ وَحَفِظُوْا
dari Mahmud bin Adam al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Jami’ bin Abi Rasyid, dari Abu Wa’il, ia berkata; Hudzaifah berkata kepada abdullah bin Mas’ud ra, … antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah saw bersabda. Tidak ada I’tikaf kecuali di masjidil Haram, atau beliau bersabda, kecuali di tiga masjid. Kemudian Abdullah berkata; barangkali kamu lupa sedangkan mereka ingat.
Mahmud bin Adam adalah shaduq, hanya saja ia telah menyebutkan riwayat hadis ini seorang sendiri dari Ibnu Uyainah, padahal beliau memiliki banyak murid, dan tidak ada murid-murid Ibnu al-Uyainah yang meriwayatkan hadis ini. Maka tak dapat diperkirakan bahwa Ibnu Uyainah telah menyembunyikan hadis ini terhadap murid-muridnya, atau ingatan mereka tentang hadis ini melemah sedangkan ingatan Mahmud bin Adam tetap kuat, sehingga ia mengemukakan hadis ini dan mereka tidak mengemukakannya. Bila dilihat dari segi matan,–bahkan juga di dalam sanadnya, dilihat dari segi rafa' (kebersambungan sampai kepada Rasulullah saw)– tampak terdapat kemunkaran.
2. Hadis Syadz
Definisi
مَا خَالَفَ فِيْهِ الْمَوْصُوْفُ بِالضَّبْطِ مَنْ هُوَ أَضْبَطَ مِنْهُ، أَوْ مَا انْفَرَدَ بِهِ مَنْ لاَ يَحْتَمِلُ حَالَةَ قُبُوْلِ تَفَرُّدِهِ
Adalah apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit menyelisihi rawi yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan seorang diri oleh rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima riwayatnya secara kesendirian
Penjelasan Definisi
Rawi yang bersifat dlabith adalah rawi yang hadisnya dapat diterima baik karena ia siqah hafidh, siqah, siqah yukhthi’, atau shaduq hasan al-hadits
Rawi yang lebih dlabith; yaitu rawi yang tingkatnya lebih tinggi dari rawi pertama dari segi kedlabithannya. Iistilah Siqah lebih tinggi dari shaduq. Rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i dan Abu Hatim lebih tinggi kedudukannya daripada rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i saja. Siqah hafidh lebih tinggi dari pada siqah saja. dan seterusnya.
Hadis yang dibawakan oleh rawi yang siqah apabila ia riwayakan seorang diri dengan matan yang munkar. Atau bersendiri dengan hadis dari seorang hafidh besar tetapi tidak diikuti oleh murid-murid yang lainnya
Syadz kadang-kadang terjadi pada matan, dan kadang-kadang terjadi pada sanad. Insya Allah akan diberikan contoh untuk masing-masing jenis tersebut.
Contoh 1. Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang lebih dlabith daripadanya dalam hal matannya.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan (92337) dengan jalan sebagai berikut;
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى
Hammam bin Yahya berkata, Telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari al-Hasan, dari samurah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambut kepalanya dan diberi nama".
Abu Dawud berkata Hamam berselisih dalam hal ini, dan bdia meragukan riwayat dari Hammam. Mereka mengatakan “Yusamma” (diberi nama) sedangkan Hammam mengatakannya “Yudamma”.
Hammam, meskipun muridnya Qatadah, tetapi bukanlah termasuk murid pada generasi pertama, tetapi ia seorang murid yang mengandung keraguan dalam meriwayatkan hadis dari Qatadah, meskipun dia siqah. Banyak murid Qatadah yang lainnya dan yang lebih dhabith dari Hammam meriwayatkan hadis yang berebeda dari hadis yang diriwayatkannya. Para rawi itu menggunakan kata 'Yusamma'. Di antara mereka adalah Sa'id bin Urwah (yang merupakan murid Qatadah yang paling kuat) dan Aban bin yazid al-'Athar. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh Hammam dengan lafadz seperti ini adalah syadz. Yang shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh jama'ah.
Contoh kedua, Hadis dari rawi yang dlabith bertentangan dengan rawi yang lebih dlabith daripadanya dalam hal sanadnya.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:382,402), Bukhari (1:52), Muslim 1:228), Abu 'Awanah (1:198), Abu Dawud (23) at-Tirmidzi (13), an-Nasa'i (1:19,25) Ibnu Majah (305), dengan jalan
عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ عَلَيْهَا قَائِمًا فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَذَهَبْتُ لِأَتَأَخَّرَ عَنْهُ فَدَعَانِي حَتَّى كُنْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi saw mendatangi tempat pembuangan suatu kaum lalu beliau kencing di sana dengan berdiri, lalu aku datang untuk berwudlu, lalu aku pergi untuk meninggalkannya, lalu beliau memanggilku sehingga aku ada di belakang beliau, lalu beliau berwudlu dan mengusap khufnya.
Hadis seperti ini diriwayatkan pula dari al-A'masy oleh sejumlah ulama' seperti Ibnu 'Uyainah, Waki', Syu'bah, Abu 'Awanah, Isa bin Yunus, Abu Mu'awiyah, Yahya bin 'Isa ar-ramly, dan Jarir bin Hazm
Tetapi Abu Bakar bin 'Iyasy menyalahi riwayat mereka. Status akurasi Ibnu 'Iyasy adalah siqah tetapi memiliki beberapa kesalahan. Dia meriwayatkan hadis tersebut dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari al-Mughirah bin Syu'bah
Abu Zur'ah ar-Razi mengatakan, "Abu Bakar bin 'Iyasy telah melakukan kesalahan dalam hadis ini. Yang benar adalah hadis dari al-A'masy dari Abu Wa'il, dan Hudzaifah". Dengan demikian sanad hadis yang diriwayatkan melalui Abu Bakar bin 'Iyasy adalah syadz, Allahu a'lam.
Contoh 3, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada matan.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1297), Ibnu Majah (1387), Ibnu Khuzaimah (1216), ath-Thabrani di dalam al-Kabir (1:243) dengan jalan dari Abdurrahman bin Bisyir bin al-Hakam, dari Musa bin Abdul 'Aziz al-Qanbari, dari al-Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas …. hadis tentang salat tasbih.
Musa bin Abdul Aziz al-Qanbari termasuk rijal yang shaduq, hanya saja hadisnya tidak dapat diterima bila diriwayatkan hanya dari jalan dirinya saja, seperti halnya hadis tersebut di atas. Al-hafidz Ibnu Hajar di dalam at-Talkhish al-Habir (2:7) berkata, "Hadis Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, hanya saja ia syadz karena beratnya kepribadiannya, dan tidak adanya tabi' dan syahid (pendukung) dari jalan yang mu'tabar, dan berbedanya cara melakukan salat tasbih dengan berbagai salat lainnya. Sedang Musa bin Abdul Aziz meskipun dia shaduq shalih tidak mungkin diterima riwayat yang datang darinya seorang diri"
Sebagian ulama' berpendapat bahwa hadis Musa bin Abdul Aziz ini munkar, tetapi sebagian lainnya menyatakan syadz. Menurut kami keduanya benar. Syadz khusus berkaitan dengan kedlabithan, dan shaduq adalah termasuk kategori dlabith, hanya saja ia ada setingkat di bawah siqah. Sedangkan munkar khusus berkaitan dengan dla'if, dan lemahnya tingkat shaduq merupakan salah satu indikasi kedla'ifan. Sehingga apabila ia meriwayatkan hadis seorang diri atau menyalahi riwayat yang lain, dinamakan syadz atau munkar tidak menyalahi kaidah dalam ilmu mushthalah hadis. Allahu a'lam.
Contoh 4, hadis yang tidak terima karena diriwayatkan seorang diri oleh orang yang tidak mungkin diterima riwayatnya dalam kesendiriannya, pada sanad.
Diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasar, dari Abu Sa'id al-Khudriy ra secara Marfu'; Sesungguhnya perbuatan itu dengan niat"
Abdul Majid ini dinyatakan siqah oleh beberapa orang, tidak hanya seorang ulama'. Hanya saja dia meriwayatkan seorang diri dari Malik dengan sanad seperti ini. Yang benar dari riwayat malik dan yang lainnya adalah dari yahya bin Sa'id al-Anshari, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Alqamah dari Umar bin Khaththab. Dengan demikian hadis Abdul majid adalah syadz.
Yang harus diingat, bahwa periwayatan hadis seorang diri dari seorang rawi, baik pada sanad ataupun matan, adalah salah satu jenis dari kesalahan, ketika dia meriwayatkannya dalam bentuk tertentu, dan menyalahi riwayat para rawi lainnya yang tidak menyebutkan riwayat seperti itu.
Hadis Mahfudz dan Ma'ruf
Lawan dari syadz adalah mahfudz, dan lawan dari munkar adalah ma'ruf.
Maksudnya, ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dlabith dengan yang lebih dhabith, riwayat yang rajih (kuat) itu dinamakan mahfudz.
Dan ketika terjadi perbedaan antara rawi yang dla'if dengan rawi yang lebih kuat maka riwayat yang rajih dinamakan ma'ruf.
3. Hadis Mudraj
Definisi
هِيَ أَلْفَاظٌ تَقَعُ مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ، مُتَّصِلَةٌ بِالْمَتَنِ لاَ يُبَيَّنُ لِلسَّامِعِ إِلاَّ أَنَّهَا مِنْ صَلْبِ الْحَدِيْثِ
Hadis Mudraj yaitu (adanya) lafal yang berasal dari sebagian rawi, bergandeng dengan matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya saja lafal itu berada di tengah hadis
Macamnya
Mudaraj ada dua macam, yatu mudraj matan dan Mudraj sanad.
A. Mudraj matan yaitu apabila seorang rawi memasukkan beberapa kalimat ke dalam hadis nabi saw dengan menyamarkan asal kalimat tersebut, bahwa sebenarnya berasal dari dirinya
Berdasarkan pada letaknya, mudraj dibagi menjadi tiga macam, yaitu;
1. Mudraj di awal matan. Mudraj jenis ini jarang ditemukan
Contoh hadis mudraj di awal matan adalah; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dengan jalan;
عَنْ أَبِي قَطْنٍ وَشِبَابَةِ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Qathn dan Syibabah, dari syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersaba; Sempurnakan-lah wudlu’, celakalah tumit orang yang berasal dari api neraka.
Kalimat asbighul wudlu’ (sempurnakanlah wudlu’) dalam hadis tersebut, adalah kata-kata Abu Hurairah.Yang menunjukkan bahwa kata itu dari Abu hurairah adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya
عن آدَمَ عَنْ شُعْبَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: أَسْبِغُوا الْوُضُوْءَ، فَإِنَّ أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
Dari Adam, dari Syu’bah, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abu Hurairah, “Sempurnakanlah wudlu’ karena Abu Qasim (Rasulullah) saw bersabda; Celaka lah tumit orang yang berasal dari api neraka".
2. Mudraj yang terletak di tengah matan, jenis ini juga hanya sedikit.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam kitab as-Sunan (6/21) dengan jalan
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَخْبَرَِنِي أَبُوْ هَاِنئٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ الْجُنَبِيّ أَنَّهُ سَمِعَ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَنَا زَعِيْمٌ –وَالزَّعِيْمُ الْحَمِيْلُ– لِمَنْ آمَنَ بِيْ وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ وَبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ
Ibnu Wahb berkata, telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hani’ dari Amr bin Malik al-Junaby, bahwasannya ia mendengar Fadlalah bin Ubaid berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, aku adalah pemimpin –pemimpin adalah penanggung– bagi orang yang beriman kepadaku, memasuki Islam dan berhijrah, pemimpin di dalam rumah yang berada di tepi sorga dan di tengah sorga
Kata pemimpin adalah penanggung berasal dari Ibnu Wahb.
3. Mudraj yang terletak di akhir matan, inilah yang banyak dijumpai dalam hadis.
Contoh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab al-‘Ilal (1/65) dengan jalan;
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ هِشَامَ بْنِ حَسَّان، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْن، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَسُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي اْلإِنَاءِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفَ بِيَمِيْنِهِ مِنْ إِنَائِهِ ثُمَّ لِيُصِيْبَ عَلَى شَمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَهُ
Dari Ibrahim bin Thahman, dari Hisyam bin Hisan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah. dan Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya, dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang diantaramu bangun tidur hendaklah membasuh telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, sebab ia tidak tahu ke mana tangannya bermalam. Kemudian hendaklah ia menciduk air dengan tangan kanannya dari bejana itu kemudian menuangkannya ke tangan kirinya, lalu hendaklah ia membasuh pantatnya.
Abu Hatim ar-Razi berkata, “Kalimat, 'Kemudian hendaklah menciduk air… (sampai akhir matan hadis tersebut)' adalah kata-kata Ibrahim bin Thahman. Ia telah menyambungkan kata-katanya dengan hadis sehingga pendengar tidak bisa membedakan antara keduanya dengan mudah".
B. Mudraj Sanad
Mudraj ini terbagi menjadi beberapa macam, yaitu;
1. Seseorang meriwayatkan sejumlah hadis dengan sanad yang berbeda-beda, lalu ia menggabungkan semua sanad itu menjadi satu tanpa menerangkan perbedaan-perbedaan yang ada.
2. Seorang rawi memiliki matan hanya sepotong saja. Sesungguhnya potongan matan itu mempunyai sanad yang lain lagi. Lalu rawi itu meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap dengan sanad yang pertama tadi, padahal hadis yang ia dengar langsung dari gurunya hanya sepotong, maka bisa dipastikan ia mendengarkan dari hadis yang lengkap itu dari gurunya dengan perantaraan rawi lain, tetapi rawi tersebut meriwayatkan hadis dari dirinya secara lengkap dan menggandengkan dengan sanad yang pertama dan tidak menyebutkan rawi lain yang menjadi perantara antara dirinya dengan gurunya.
3. Seorang rawi memiliki dua matan yang berbeda dengan dua sanad yang berbeda pula, lalu ada seorang rawi lain yang meriwayatkan kedua matan darinya dengan mengambil salah satu sanad saja, atau mengambil salah satu dari dua hadis itu dengan sanadnya dan menambahkan pada matan hadis yang lainnya tersebut matan tersebut, yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari matan hadis itu.
4. Seorang rawi menyebutkan suatu sanad, kemudian ada sesuatu yang memalingkannya, lalu ia mengatakan suatu perkataan dari dirinya sendiri, tetapi orang yang mendengarkannya mengira kata-kata itu adalah matan dari sanad tersebut sehingga yang mendengarkan itu meriwayatkan hadis seperti yang ia dengarkan itu .
4. Hadis Mukhtalath
Definisi
هُوَ مَا يَرْوِيْهِ مَنْ وُصِفَ بِنَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ اْلإِخْتِلاَطِ
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan)
Penjelasan Definisi
Rawi; baik yang siqah ataupun dla’if
Memiliki sifat salah satu jenis ikhtilath; seperti terjadinya kekacauan ingatan sehingga kadang-kadang mencampurkan satu hadis dengan hadis yang lain, di antara sebabnya adalah karena usia lanjut, atau karena kitabnya terbakar.
Hukum Hadis Mukhtalath
Hadis Mukhtalath dilihat dari segi dapat diterima atau tidaknya dibagi menjadi beberapa tingkatan;
Pertama, dapat diterima hadis dari rawi yang mengalami ikhtilath, apabila ia siqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam kitab Sunan (3/54)
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبِ بْنِ عَرَبيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّى بِنَا عَمَّارُ ابْنُ يَاسِرٍ صَلَاةً فَأَوْجَزَ فِيهَا فَقَالَ لَهُ بَعْضُ الْقَوْمِ لَقَدْ خَفَّفْتَ أَوْ أَوْجَزْتَ الصَّلَاةَ فَقَالَ أَمَّا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ دَعَوْتُ فِيهَا بِدَعَوَاتٍ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَامَ تَبِعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
Telah meberitakan kepada kami Yahya bin Habib bin Arabiy, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad, ia berkata; Telah menceritakan kepada Kami Atha’ bin as-Sa’ib, dari ayahnya, ia berkata; Ammar bin Yasir pernah melakukan suatu salat bersama kami dengan salat yang ringan (pendek) lalu orang bertanya kepadanya, engkau telah meringankan shalatmu –atau pendekkan– Lalu Ammar menjawab; Adapun dalam hal itu aku telah berdoa di dalamnya dengan suatu do’a yang aku dengar dari Rasulullah saw, lalu ketika beliau berdiri seseorang di antara kaum itu mengikutinya…
Atha’ bin Sa’ib adalah siqah, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir usianya, dan Hammad yang meriwayatkan hadis ini darinya adalah Hammad bin Zaid. Dia termasuk orang yang telah mendengar hadis dari Atha' sebelum ia mengalami ikhtilath. Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata, "Hammad bin Zaid telah mendengar dari Atha’ sebelum ia mengalami ikhtilath". Demikian juga penilaian Abu hatim ar-Razi.
Kedua, Tertolak hadis dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila rawi yang meriwayatkan hadis darinya mendengarkan hadis setelah ia mengalami ikhtilath
Contohnya; hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2602), at-Tirmidzi (3446) dan lain-lainnya dengan jalan;
حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ السَّبِعِيْ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عَلِيًّا رَضِي اللَّه عَنْهم مَرْفُوْعاً إِنَّ رَبَّكَ يَعْجَبُ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا قَالَ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرِي
Dari Abu Ishaq as-Sabi’iy al-Hamdani, dari Ali bin Rabi’ah al-Walibiy, dari Ali bin Abi Thalib ra secara marfu’. Sesungguhnya Tuhanmu merasa heran kepada hamba-Nya apabila ia mengatakan ampunilah dosa-dosaku, dan ia mengetahui bahwasannya tidak ada yang mengampuni dosa selain diriku.
Abu Ishaq as-Sabi’iy seorang Mudallas, ia tidak mendengar hadis ini dari Ali al-Walibiy. Al-Mizzi telah menukilkan di dalam kitab Tuhfatu al-Asyraf (7/436) dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu’bah, ia berkata; Aku bertanya kepada Abu Ishaq, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab; dari Yunus bin Khabab, Lalu aku menjumpai Yunus bin Khabab, aku bertanya kepadanya, dari siapakah engkau mendengar hadis ini? Ia menjawab; dari seseorang yang mendengar dari Ali bin Rabi’ah.
Ahmad bin Mansur ar-Ramadi telah meriwayatkan dari Abdur Razaq ash-Shan’ani, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepadaku Ma’mar, dari Abu Ishaq, telah mengkhabarkan kepadaku Ali bin Rabi’ah. Dikeluarkan oleh al-Mahamili, di dalam kitab ad-Du’a (15) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Mu'jam al-Kubra.
Tetapi riwayat ini mengandung cacat. Abdur Razaq seorang yang siqah hafidz, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir hidupnya. ar-Ramadiy belajar kepada Abdur Razaq setelah ia mengalami ikhtilath, ketika itu ia mendiktekan hadis. Maka tak layak ar-Ramady mengatakan dalam meriwayatkan hadis itu dengan ungkapan "mendengar".
Khusus untuk Imam Ahmad, beliau telah meriwayatkan hadis tersbut dari Abdur Razaq di dalam kitab Musnadnya (1/115) tidak dengan ungkapan yang bermakna mendengar secara langsung. Padahal Imam Ahmad termasuk orang yang mendengar hadis dari Abdur Razaq sebelum ia mengalami ikhtilath.
Ketiga; seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila ia dla’if, baik orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia mengalami ikhtilat, atau setelahnya. Yang demikian itu karena hadisnya tertolak karena illah (sebab) yang lain, bukan karena ikhtilath. Apabila disandarkan kepadanya ikhtilath, maka menolak hadisnya lebih utama.
Contoh; Hadis Laits bin Abi Salim. Laits termasuk rijal yang dla’if lagi Mudtharib hadis (goncang hadisnya), dan ia mengalami ikhtilath di akhir usianya. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengalami ikhtilath di akhir usianya, ia banyak mebolak-balikkan sanad, dan merafa’kan riwayat yang mursal, dan membawa riwayat dari rawi siqat yang bukan dari hadis mereka”
Keempat; Mendiamkan hadis rijal mukhtalith yang siqah, apabila riwayat orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya sehingga hadisnya diketahui derajatnya. Apabila ada kesesuaian dengan para rawi yang siqat, maka hadisnya dapat diterima, apabila tidak sesuai maka hadisnya tertolak.
Contohnya; Hadis Hammad bin Salmah dari Atha’ bin as-Saib, sesungguhnya ia mendengar dari Atha’ sebelum dan setelah ikhtilath, sebagaimana telah kami tegaskan di dalam kitab adl-Dla’if min Qishat al-Isra’ wa al-Mi’raj, h. 27.
5. Al-Mazid fi Muttashil al-Asanid
Definisi
هُوَ أَنَّهُ يَزِيْدُ رَاوٍ فِي اْلاَسَانِيْدِ رَجُلاً لَمْ يَذْكُرْهُ غَيْرُهُ
Seorang rawi menambahkan seseorang rijal di dalam suatu sanad, yang tidak disebutkannya di dalam sanad lainnya
Penjelasan Definisi
Seorang rawi di dalam suatu sanad menambahkan seorang rijal dalam sanad suatu suatu khabar atau hadis, baik dengan disebutkan namanya atau disembunyikan namanya (mubham). Tambahan rijal tersebut tidak disebutkan oleh para rawi itu di dalam jalur sanad yang lain.
Syarat Mazid fi Muttashil Asanid
Adanya pernyataan bahwa seorang rawi telah menerima hadis dalam bentuk as-Sima’ (mendengar) dari gurunya di tempat adanya tambahan itu. Jika pernyataan rawi itu tidak dalam bentuk as-sima', melainkan menggunakan bentuk mu’an’an pada jalur sanad yang tanpa ziyadah, maka ziyadah itu menjadi rajih (kuat) . Sebab jallur yang tanpa ziyadah dimungkinkan terjadi irsal atau tadlis. Untuk mencapai kesimpulan yang sahih hendaklah dicari qarinah dan bukti-buktinya. Selanjutnya dapat ditentukan riwayat yang sahih.
Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/386, 416 dan 467) dan Muslim (3/1466), Abu Awanah (2/109) dengan jalur sanad dari Abu 'Awanah;
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَلْقَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Dari Ya'la bin ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Abu Alqamah berkata, Aku mendengar Abu Hurairah ra berkata; Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia telah durhaka kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku maka ia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang mendurhakai amir (pemimpin)ku maka ia telah durhaka kepadaku.
Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam Sunan-nya (8/276) dengan sanad sebagai berikut;
أَخْبَرَنَا أَبُوْ دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ الْوَلِيْدِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ حَدَّثَنِي أَبْوْ هُرَيْرَةَ ...
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu al-Walid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Ya’la bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari Abu ‘Alqamah, Abu Hurairah telah menceritakan kepadaku ….
Di dalam sanad di atas ada tambahan 'Atha' yaitu ayah Ya'la. Inilah yang dinamakan Mazid fi Muttasil al-Asanid. Muslim di dalam kitab Shahihnya menyebutkan riwayat yang tidak ada ziyadahnya bahwa Ya’la bin Atha’ telah menjelaskan bahwa ia menerima hadis dari gurunya, yaitu Abu 'Alqamah, dengan cara as-sima’.
6. Hadis Maqlub
Definisi
مَا خَالَفَ فِيْهِ الرَّاوِي مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ فَأَبْدَلَ فِيْهِ شَيْئًا بِآخَرٍ فِي سَنَدٍ أَوْ فِي مَتَنٍ، سَهْوًا أَوْ عَمْدًا
Apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berbeda dengan riwayat rawi yang lebih siqah, karena di dalamnya terdapat pertukaran suatu kalimat dengan lainya, baik di dalam sanad ataupun di dalam matan, karena lalai atau sengaja.
Bentuknya
Di antara bentuk hadis maqlub adalah terbalik salah satu nama rawi di dalam sanadnya, seperti Murrah bin Ka’b dikatakan Ka’b bin Murrah
Atau berubahnya suatu kata di tempat yang lainnya pada suatu matan, seperti di dalam hadis Ibnu Umar ra “Maka saya dengan nabi duduk di tempat duduk beliau dengan menghadap kiblat dan membelakangi Syam”. Hadis itu terbalik, yang benar adalah, “Menghadap Syam dan membelakangi Ka’bah”
Atau bisa juga tertukarnya suatu sanad dengan matan yang lain
Barangsiapa yang melakukan kesalahan seperti ini maka kualitas akurasi (dlabth)nya, berdasarkan apa yang telah terjadi adalah meragukan, sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu. Apabila hal itu disengaja, maka ia termasuk pengkhianat dan pendusta. Apabila ia menghubungkan suatu sanad dengan matan, maka ia termasuk pencuri hadis, yang tercela keadilannya.
7. Hadis Mudltharib
Definisi
الْحَدِيْثُ الَّذِي يَرْوِيْهِ الرَّاوِي الَّذِي لاَ يَحْتَمِلُ تَعَدُّدُ اْلأَسَانِيْدِ عَنْهُ مَرَّةً بِسَنَدٍ وَمَرَّةً أُخْرَى بِسَنَدٍ آخَرٍ مُخَالِفٍ بِحَيْثُ لاَ يُمْكِنُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya, suatu kali dengan sebuah sanad, dan lain kali dengan sanad lainnya yang berbeda, di mana antara keduanya tidak mungkin dikompromikan.
Penjelasan definisi.
Hadis Mudltharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi; baik siqah, shaduq, atau bahkan dla’if yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya sebagaimana halnya rawi yang hafidh lagi siqah seperti az-Zuhri, Malik dll. Rawi itu mungkin sekali meriwayatkan hadis lebih dari satu sanad, sehingga tidak dianggap terjadi idlthirab (goncang) karena banyaknya hadis yang didengarkannya atau yang diriwayatkannya, kecuali jika ada perbedaan yanag sangat jelas. Suatu kali ia meriwayatkan hadis dengan sebuah sanad, dan lain kali meriwayatkan dengan sanad lain yang berbeda dan antara berbagai sanad yang ada tersebut tidak mungkin dikompromikan
Contohnya
يَبِيْتُ قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوْنَ وَقَدْ مُسِخُوْا قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ وَلَيُصِيْبَنَّهُمْ خَسَفٌ وَقَذَفٌ حَتَّى يُصْبِحَ النَّاسُ فَيَقُوْلُوْنَ خَسَفَ اللَّيْلَةُ بِبَنِي فُلاَنٍ وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ حَاصِبًا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ كَمَا أُْرْسِلَ عَلَى قَوْمِ لُوْطَ عَلَى قَبَائِلٍ فِيْهَا وَعَلَى دَوْرٍ فِيْهَا وَلَيُرْسِلَنَّ عَلَيْهِمْ الرِّيْحَ العَقِيْمَ الَّتِيْ أَهْلَكَتْ عَادًا بِشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيْرَ
Suatu kaum di antara ummat ini bermalam dengan makanan, minuman dan permainan, lalu pagi harinya mereka telah diubah menjadi kera dan bab. Dan sungguh mereka telah ditimpa kehinaan dan sehingga ketika orang-orang bangun pagi mereka mengatakan telah terjadi semalam telah terjadi malapetaka di rumah si fulan dan dikirimkan kepada mereka hujan batu dari langit seperti yang pernah menimpa kaum nabi Luth, terhadap beberapa kabilah di antara mereka, beberapa rumah di antaranya, dan dikirimkan angina rebut yang menghancurkan kaum 'Ad karena mereka meminum khamr, memakan riba, menjadikan perempuan sebagai penyanyi-penyanyi dan memakai sutera.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Farqad as-Sabakhi dengan enam versi yang berbeda-beda. Farqad adalah dikenal sebagai salah seorang rawi yang dla’if. Karena itulah riwayatnya dikatakan idlthiraab (goncang)
Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matan, dan kadang-kadang pula terjadi pada sanad. Tetapi idlthirab yang terjadi pada matan jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi pada sanad.
Hadis Mu’allal
Definisi
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِي أُطْلِعَ فِيْهِ عَلَى عِلَّةٍ تَقْدَحُ فِي صِحَّتِهِ مَعَ أَنَّ ظَاهِرُهُ السَّلاَمَةُ مِنْهَا
Yaitu hadis yang di dalamnya terungkap adanya cacat sehingga menyebabkan rusak kesahihannya, padahal secara dhahir hadis itu terbebas dari cacat tersebut
Cara mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat sehingga termasuk mu'allal ataukah tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya, mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar (analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan kebenarannya.
Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan, Cara mengetahui illah hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan, dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali al-Madini mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan tampak kesalahannya
Illah kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang terjadi pada matan. Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb al-Mala’I, dari al-A’masy dari Anas, ia berkata,
كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُو مِنَ اْلأَرْضِ
Apabila Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka (mengangkat) pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.
Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (14), Abu Isa ar-Ramli di dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50)
Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya siqah, hanya saja al-A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung dari Anas bin Malik ra. Ibnu al-Madini mengatakan, “al-A’masy tidak pernah mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah, ketika salat ada di belakang Maqam”
Untuk mengetahui lebih jauh tentang jenis hadis ini telah kami bahas tersendiri dalam satu buku yang khusus. Buku itu juga berfungsi untuk latihan menyingkap adanya ‘ilal (cacat) pada suatu hadis. Buku tersebut kami beri nama “Tadrib ath-Thalabah 'ala takwin al-malakah" (Melatih siswa untuk menanamkan kecakapan), yaitu pada bagian ketiga dari buku ini.
Hadis Musalsal
Definisi
التَّسَلْسُلُ هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ تَسَلْسُلِ رِجَالِ اْلإِسْنَادِ جَمِيْعُهُمْ عَلَى صِفَةٍ أَوْ حَالَةٍ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرِّوَايَةِ وَتَارَةً تَكُوْنُ صِفَةٌ لِلرُّوَاةِ
at-Tasalsul adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama. Kadang-kadang pada sifat suatu riwayat, dan kadang-kadang pada sifat rawi.
Penjelasan definisi
at-Tasalsul adalah suatu ungkapan tentang berangkainya rijal suatu isnad, seluruhnya berada memiliki suatu sifat atau keadaan yang sama; dari awal sanad hingga akhir sanad.
Kadang-kadang persamaan sifat itu ada pada riwayat; Seperti hadis musalsal dengan sima’, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh para rawi, yang seluruhnya menyatakan telah mendapatkan hadis dengan cara mendengar dari gurunya.
Kadang-kadang sifat yang berangkai itu ada pada rawi; seperti seluruhnya mereka orang-orang Mesir, yaitu musalsal dengan periwayatan orang-orang Mesir, atau hadis tentang menyilangkan tangan, atau musalsal dengan rawi yang bernama Muhammad.
Contohnya
Hadis yang musalsal dalam membaca Sabbaha lillahi maa fis samawati wa maa fil Ardl, wa huwal Azizul Hakim
Dan hadis yang musalsal dengan kata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”
Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’
Hadis dilihat dari akhir sanadnya dibagi menjadi tiga, yaitu
Pertama Marfu’;
كُلُّ حَدِيْثٍ نُسِبَ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً
yaitu setiap hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw, baik perkataan, pekerjaan, taqrir (ketetapan) atau sifat.
Kedua, Mauquf;
مَا نُسِبَ إِلَى الصَّحَابِي مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
yaitu hadis yag dinisbahkan kepada Shahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
Ketiga, Maqthu’;
مَا نُسِبَ إِلَى التَّابِعِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
yaitu setiap hadis yang dinisbahkan kepada Tabiin, baik perkataan maupun perbuatan.
Langganan:
Postingan (Atom)