Hubungan Agama dan HAM
Kehidupan beragama di Indonesia diwarnai dengan berbagai tindakan radikalisme–muncul dalam bentuk aksi-aksi kekerasan. Di tingkat masyarakat, terjadi pembrondongan terhadap kebebasan beragama. Di sudut lain terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Paham ini bermula fanatisme yang mengharamkan pluralisme. dibuktikan banyaknya penutupan gereja yang dianggap tidak memiliki izin IMB. Menurut pendiri Gereja Rakyat Pendeta Shephard Supit, sampai saat ini sudah sekitar 1.000 gereja dirusak.
Di negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia–pelanggaran hak azasi manusia masih terang-terangan dilanggar. Lalu, kita merasa tak perlu mempersoalkan hal ini. Ambil contoh, belum lama ini terjadi pemaksaan penutupan terhadap gereja HKBP Rajek, Banten. Kasus lain pembakaran Sekolah Tinggi Teologi Doulos pada Desember 1999 oleh manusia beragama yang tidak punya moral. Kasus-kasus semacam ini selalu dipetieskan. Padahal, Yayasan Doulos tidak pernah mengusik ketenangan warga di Cipayung, Jakarta Timur apalagi tuduhan mengkristenkan–yang tidak berdasar.
Menganut atau tidak memiliki agama adalah hak seseorang dan bersinggungan erat terhadap mendirikan peribadatan atau mengembangkan agama-nya. SKB Dua Menteri menjadi menyuburkan fanatisme terhadap agama. Gejala lain yang juga mengganggu prinsip kebebasan beragama adalah dikeluarkannya apa yang disebut perda-perda syariah, misalnya keharusan bagi pegawai perempuan pemerintah daerah untuk memakai jilbab. Kasus di beberapa daerah menjadi sumber konflik. Masalahnya bukan anti peraturan, melainkan peraturan produk kebudayaan Arab tidak bisa dipakai, di Indonesia yang berdasarkan masyarakat majemuk.
Kemerdekaan menganut agama merupakan kebebasan mengembangkan agamanya, bahkan mendirikan sekte (aliran) baru harus dilindungi. Karena itu, konsitusi negara menjamin Kebebasan Beragama untuk semua orang. Kebebasan tersebut mencakup penyiaran agama. Itu semua merupakan konsekuensi terhadap HAM dari kencenderungan masyarakat Indonesia yang religius dan beragama. Kebebasan beragama adalah HAM. HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang dan tidak merupakan pemberian siapa pun, termasuk negara. Akan tetapi, HAM ini belum tentu memperoleh jaminan dari negara. Apabila negara telah mengakui dan melindungi HAM dalam konstitusi, maka HAM juga berarti bebas memeluk agama.
Negara berkewajiban melindungi pemeluk agama. Karena itu, negara pun tidak boleh mentolerir pengrusakan, dan pembakaran seperti yayasan STT Doulos atau gereja. Pembiaran ini dapat dianggap sebagai tindakan kriminal. Di lain pihak, kekerasan yang mengatasnamakan agama dan pelanggaran HAM, kini telah timbul berbagai macam lembaga untuk menegakkan kebebasan beragama. Komunitas tersebut menandakan timbulnya aliran-aliran politik liberal di Indonesia. Politik liberal di sini berarti politik yang menghargai individu dan HAM. Karena itu, jika negara memiliki komitmen terhadap HAM, maka kita harus mencegah dan menentang setiap pelanggaran hal-hal di atas. Penegakkan HAM merupakan fondasi dari demokrasi. Ketegasan negara pemilik otoritas penegakan HAM–mengadili seadil-adilnya mereka yang memaksakan kehendaknya. Hal ini harus dibuktikan negara jika tidak mau tetap dicap sebagai negara demokrasi abu-abu.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar