BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam dunia
pendidikan, guru merupakan unsur utama pada keseluruhan proses pendidikan,
terutama di tingkat institusional dan instruksional. Posisi guru dalam
pelaksanaan pendidikan berada pada garis terdepan. Keberadaan guru dan
kesiapannya menjalankan tugas sebagai pendidik sangat menentukan bagi
terselenggaranya suatu proses pendidikan. Menurut Muhammad Surya, tanpa guru
pendidikan hanya akan menjadi slogan yang tiada arti. Baginya, guru dianggap
sebagai titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan.[1]
Peranan guru memiliki posisi sentral dalam proses pembelajaran. Ada tiga
faktor yang memengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah,
dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan dari dalam guru itu sendiri.[2]
Dari tiga faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping
faktor-faktor yang lain. Dengan kata lain keberhasilan implementasi kurikulum
tingkat satuan pendidikan sangat ditentukan oleh guru karena bagaimanapun
baiknya suatu kurikulum ataupun sarana pendidikan jika gurunya tidak memahami
dan melaksanakan tugas dan fungsi secara baik, hasil implementasi kurikulum
tidak memuaskan. Oleh karena itu, pengembangan profesionalisme guru merupakan
keniscayaan dalam menyukseskan impelementasi kurikulum tingkat satuan
pendidikan.
Guru merupakan pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi
peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar
kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan
disiplin. Guru merupakan pemeran utama kegiatan pembelajaran yang berinteraksi
langsung dengan peserta didik dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru
pelaksana terdepan pendidikan di sekolah. Berhasil tidaknya upaya peningkatan
kualitas peningkatan pendidikan banyak ditentukan oleh kemampuan yang ada pada
guru dalam mengemban tugas pokok sebagai pengelola kegiatan pembelajaran di
kelas. Mengingat begitu penting peranan guru maka sudah sepatutnya guru
benar-benar memiliki kompetensi yang sesuai dengan dengan tuntutan profesi.[3]
Makalah ini mencoba membahas tentang pengembangan profesionalisme Guru
Pendidikan Agama Islam (GPAI). Pengembangan profesionalisme GPAI diarahkan
untuk perbaikan mutu pendidikan secara umum maupun sebagai tuntutan
pekerjaan guru sebagai profesi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar
belakang maka masalah pokok dalam pembahasan makalah ini adalah
bagaimana pengembangan profesionalisme GPAI, dengan submasalah:
- Apa tantangan dan problematika GPAI?
- Apa hakikat PAI dan interkoneksinya dengan mata pelajaran lain?
- Bagaimana posisi Guru dalam persepektif pendidikan islam?
- Bagaimana strategi pengembangan profesionalisme GPAI?
C.
Tujuan Pembahasan
- Ingin menjelaskan tantangan dan problematika GPAI.
- Untuk mendeskripsikan hakikat PAI dan interkoneksinya dengan mata pelajaran lain.
- Untuk menjelaskan posisi Guru dalam persepektif pendidikan islam.
- Ingin menjelaskan strategi pengembangan profesionalisme GPAI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tantangan dan
Problematika Guru PAI
Dalam proses pendidikan, guru
tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge),
tetapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun
karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan.[4]
Tugas pokok guru adalah mengajar dan mendidik sekaligus. Dalam kaitan ini perlu
disadari bahwa pada setiap mata pelajaran yang diajarkan harus membawa misi
pendidikan dan kejujuran. Tugas guru agama di samping harus dapat memberikan
pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa
dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut.
Ketika seorang guru mengajarkan salat misalnya, ia tidak hanya mengajarkan
siswa agar paham terhadap pengetahuan tentang salat dan mempraktikkannya secara
benar, tetapi bersamaan dengan itu dengan salat tersebut diharapkan akan tumbuh
jiwa dan kepribadian anak yang selalu bersyukur kepada Allah, patuh dan tunduk,
disiplin, senantiasa ingat kepada Allah yang selanjutnya terpelihara dirinya
dari perbuatan yang keji dan munkar.[5]
Pembelajaran di sekolah
dipengaruhi oleh guru, siswa, sistem dan lingkungan masyarakat serta keluarga.
Guru agama merupakan salah satu komponen dengan kemampuan dan keterbatasan yang
ada sering dimintai ‘tanggung jawab’ berlebihan dan tidak proporsional. Jika
ada siswa nakal, bikin onar, guru agama mendapat ‘pesanan’ untuk
menyelesaikannya dalam penyampaian matapelajaran misalnya.
Pada dasarnya, menurut hemat
penulis matapelajaran PAI tidak perlu dipelajari di sekolah, jika pertama,
semua matapelajaran sekolah dijiwai oleh pendidikan agama. Kedua,
berfungsinya keluarga sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama.
Keluarga memperkenalkan kepada anaknya dasar-dasar keagamaan, bahkan semenjak
di dalam kandungan. Ketiga, adanya jalinan kerjasama antara sekolah
dengan institusi sosial keagamaan seperti masjid, pesantren, majlis ta’lim,
surau, tempat pengajian misalnya. Materi dan standar pelajarannya disepakati
bersama.
Pengandaian di atas tidaklah
berjalan, karena kesempatan yang terbatas, ketidakmauan atau ketidakmampuan
keluarga dalam mendidik anak-anaknya, maka maksimalisasi pelajaran PAI di
sekolah menjadi pilihan yang menantang. Mengapa? Karena pertama,
kejenuhan atas materi yang diulang-ulang dalam pelajaran. Ini bisa dilihat dari
dari isi kurikulum PAI mulai SD, SLTP dan SLTA meski dengan sedikit fokus
perluasan dan pendalaman yang berbeda. Apalagi bagi siswa yang belajar di
Sekolah Agama (Madrasah Diniyah). Kedua, perhatian pelajar-apalagi yang
kelas 3- lebih terpusat pada pelajaran yang menjadi ujian nasional. PAI bisa
dianggap tidak menjadi skala prioritas matapelajaran penting. Hal ini pun
seyogyanya menjadi perhatian manajemen sekolah, guru, orangtua/murid dan
pemerintah. Ketiga, krisis kepercayaan siswa terhadap matapelajaran PAI
dan gurunya. Para siswa melihat kenyataan di masyarakat, banyak terjadi
kesenjangan yang tajam antara idealitas dan realitas agama. Elit sosial,
ekonomi, agama, politik dan pendidikan misalnya, telah melakukan
ketidakjujuran, kecurangan, berselisih paham agama bahkan konflik atas nama
agama. Keempat, suasana dan metode belajar yang monoton sehingga terasa
membosankan bagi siswa. Keberadaan guru di kelas-baik kelas terbuka di alam
atau tertutup di sekolah- ditantang untuk membangun kelas yang dinamis (hidup),
variatif, menarik, menyenangkan dan bergairah. Tidak ada satu cara paling tepat
di kelas, melainkan gurulah yang lebih mengetahui dengan target materi, suasana
kelas, keragaman karakter, potensi dan minat siswa.
Setiap orang yang akan
melaksanakan tugas guru harus punya kepribadian. Di samping punya kepribadian
yang sesuai dengan ajaran Islam, guru agama lebih dituntut lagi untuk mempunyai
kepribadian guru. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani
oleh murid-muridnya. Penampilannya dalam mengajar harus meyakinkan dan tindak
tanduknya akan ditiru dan diteladani. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pendidik, ia harus tabah dan tahu cara memecahkan berbagai kesulitan dalam
tugasnya sebagai pendidik. Ia juga mau dan rela serta memecahkan berbagai
masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang langsung berhubungan dengan
proses belajar mengajar.
Dalam proses belajar mengajar,
murid pun tidak lepas dari berbagai kesulitan. Setiap murid tumbuh dan
berkembang menurut kodrat yang ada padanya. Ia belajar dengan caranya sendiri
sesuai dengan kemampuannya, kecerdasan dan keterampilannya yang berbeda antara
seorang murid dan murid lainnya. Pada hakikatnya ia belajar sesuai dengan
individunya masing-masing.[6]
B.
Hakikat PAI dan
Interkoneksinya dengan Mata Pelajaran Lain
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani ajaran agama Islam dengan disertai dengan tuntutan untuk
menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat
beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.[7]
Zakiyah Darajat mengemukakan bahwa esensi pendidikan
yaitu adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi
tua ke generasi muda agar generasi muda mampu untuk hidup. Oleh karena itu
ketika kita menyebut adanya pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua hal,
yaitu:[8]
1. Mendidik
siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam
2. Mendidik
siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam, berupa pengetahuan tentang
Islam.
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenangkan
tentang pendidikan agama seperti; Islam diajarkan lebih pada hafalan, padahal
Islam penuh dengan nilai-nilai yang harus diperaktekkan. Pendidikan Islam lebih
ditekankan pada hubungan formalitas antara agama dengan Tuhan-Nya; penghayatan
nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan. Hal ini diukur dari penilaian
kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan
mengerjakan ujian tertulis di kelas yang dapat di demonstrasikan oleh siswa.
Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang
dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
atas pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu
sebagai berikut:
1. Pendidikan
Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak
dicapai.
2. Peserta
didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti ada yang
dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengmalan terhadap ajaran agama Islam.
3. Pendidik
pendidikan agama Islam (GPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan
agama Islam.
4. Pembelajaran
pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, yang
disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk
membentuk kesalehan sosial. Dalam arti kesalehan pribadi itu diharapkan mampu
memancarkan ke luar dalam hubungan keseharian dengan manusia lain baik seagama
ataupun yang tidak seagama, serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat
mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional dan bahkan ukhuwah Islamiah.
C.
Posisi Guru dalam Perspektif
Pendidikan Islam
Guru menurut Islam lebih tepat
dikatakan sebagai “Da’i”, pendakwah yangmemperjuangkan nilai-nilai tertentu,
yakni nilai-nilai Islami. Seorang guruberperanan penting dalam melaksanakan
misi amar ma’ruf nahi munkar, makacirri khas seorang guru itu haruslah
menyebarluaskan informasi tentang perintahdan larangan Allah SWT. Pesannya
haruslah berisi usaha untuk mempengaruhimanusia agar berperilaku bersesuaian dengan
ajaran Islam. Berikut adalagbeberapa peranan seorang guru di dalam Islam yang
patut diambil sebagaipanduan:[9]
- Sebagai Pendidik (Muaddib)
Dalam kaitannya dengan fungsi
edukasi yang Islami, harusalah lebih banyakmenyodorkan pemberitaan yang lebih
membawa muatan kepada ajaran Islam.Mendidik umat Islam agar melaksanakan
perintah Allah SWT dan menjauhisegala larangan-Nya. Memikul tugas untuk
mencegah umat Islam danberperilaku yang menyimpang dari syari’at Islam, serta
melindungi umat daripengaruh media massa non-Islami yang anti Islam.
- Sebagai Musaddid (Pelurus Informasi)
Dalam hal ini, setidaknya ada 3
hal yang harus diluruskan oleh jurnalisme Isla.Pertama, informasi tentang
ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentangkarya-karya atau prestasi umat
Islam. Ketiga, dituntut mampu menggali,melakukan penelitian tentang kondisi
umat Islam di berbagai penjuru dunia.Dalam kaitannya sebagai pelurus informasi
ini, jurnalistik Islam dituntut harusmampu mengikis fobia Islam (Islamopobhia)
yang merupakan priodukpropaganda pers barat yang anti Islam.
- Sebagai Mujaddid (Pembaharu)
Pembaharu yang dimaksudkan
adalah penyebar paham pembaharuan akanpemahaman dan pengamalan ajaran Islam
(reformasi Islam). Jurnalistik Islamiharuslah menjadi alat bagi para pembaharu
Islam yang menyerukan Islam.Memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah, memurnikan
pamahaman tentangIslam dan pengamalannya. Ikut serta sebagai alat memberikan
informasi dalamusaha membersihkan ibadah umat dari bid’ah, khurafat, tahayul
dan isme-ismeasing yang non-Islam , dan menerapkannya dalam segala aspek
kehidupanumat.
- Sebagai Muwahid (Pemersatu)
Dalam menjalankan fungsinya
sebagai muwahid ini, dimaksudkan jurnalistikIslam dapat menjadi jembatan yang
mempersatukan umat Islam. JurnalistikIslam harus mampu menerapkan kode etik
jurnalistik yang berupa impartiality(tidak memihak pada golongan tertentu) dan
mampu menyajikan dua sisipandang setiap informasi. Jurnalistik Islami harus
mampu membuang jauh-jauhsikap sekterian.[10]
- Sebagai Mujahid (Pejuang)
Dalam fungsinya sebagai pejuang,
maksudnya mencoba menampilkan tulisan-tulisan yang berusaha keras membentuk
pendapat umum yang mendorongpenegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syi’ar
Islam, mempromosikansyi’ar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan
rahmatan lil ‘alaamin, serta menanamkan ruuhul jihad di kalangan umat.
Berkait dengan peranan guru
dalam bidang akhlak maka peranan yang
paling penting ialah memahamkan pengertian akhlak yang sebenar menurut
perspektif Islam . Akhlak dalam Islam mempunyai pengertiannya yang
tersendiri. Rasulullahdiutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Rasulullah
menerangkan"Addin atau agama ialah akhlaq yang baik. Orang yang paling
hampir di sisiku pada hari kiamat ialah orang yang paling baik akhlaqnya."
Banyak lagi hadith-hadith dan ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang
akhlaq tidak dapatkita perturunkan di sini.
D.
Strategi Pengembangan
Profesionalisme GPAI
Berbicara tentang perbaikan
kinerja guru atau pengembangan profesionalisme khususnya GPAI, tidak bisa
dilepaskan dari tugas pokok (tupoksi) utama dan berbagai tanggung jawab guru
yang terkait lainnya. Tugas dan tanggung jawab guru meliputi banyak hal, yaitu
guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur
lingkungan belajar, perencana pembelajaran, supervisor, motivator, evaluator,
inovator, serta tugas lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai guru
pendidikan agama Islam.
Guru harus memiliki
karakteristik profesional. Pertama, komitmen terhadap profesionalitas
yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan
hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi
berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta
menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan
praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan
implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan
peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil
kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan
lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat
anutan (centre of self- identification), teladan, dan konsultan bagi
peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban
di masa depan (civilization of the future).[11]
Untuk memenuhi tuntutan kinerja guru yang baik, maka pembinaan profesionalisme
guru menjadi sebuah keniscayaan. Ketika hal ini dihindari atau tidak dijalankan
maka peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan tidak akan pernah terwujud.
Kedudukan dan posisi guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan sekaligus mewujudkan tujuannya.
Untuk mencapai kreteria profesional, guru harus menjalani profesionalisasi atau
proses menuju derajat profesional yang sesungguhnya
secara terus menerus, termasuk kompetensi mengelola kelas. Berdasarkan UU Nomor
74 Tahuan 2008 dibedakan antara pembinaan dan pengembangan kompetensi guru yang
belum dan yang sudah berkulifikasi S-1 atau D-IV.[12]
Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi guru yang sudah memiliki
sertifikat pendidik dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi
keprofesiannya tetap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan atau olah raga. Pembinaan dan pengembangan profesi dan karir
guru (P3KG) meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pembinaan dan pengembangan karir
meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Upaya pembinaan dan
pengembangan karir ini harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional para
guru.[13]
Kegiatan pembinaan dan pengembangan ini bisa dijalankan melalui prakarsa
pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, asosiasi guru, juga
bisa melalui inisiatif guru itu sendiri.
Berikut penjelasan tentang fokus P3KG dengan empat kompetensi utama
yang harus dimiliki oleh seorang guru:[14]
Pertama, kompetensi pedagogik. Kompetensi ini terdiri atas lima subkompetensi
yaitu: memahami peserta didik secara mendalam; merancang pembelajaran, termasuk
memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran; melaksanakan
pembelajaran; merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran; dan
mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi dirinya. Lima
subkompetensi ini memiliki sedikitnya empatbelas indikator.
Kedua, kompetensi kepribadian. Kompetensi ini terdiri atas empat
subkompetensi yaitu: kepribadian yang mantap dan stabil; kepribadian yang arif;
kepribadian yang berwibawa; berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan. Empat
subkompetensi ini memiliki sedikitnya enam indikator.
Ketiga, kompetensi sosial. Kompetensi ini terdiri atas tiga subkompetensi yaitu:
mampu berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didik; mampu berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua / wali peserta didik
dan masyarakat sekitar. Tiga subkompetensi ini memiliki sedikitnya lima
indikator.
Keempat, kompetensi profesional. Kompetensi ini terdiri atas dua subkompetensi
yaitu: menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi; menguasai
struktur dan metode keilmuan. Dua subkompetensi ini memiliki sedikitnya enam
indikator.
Empat kompetensi utama dan subkompetensinya mutlak dimiliki oleh guru
karena guru berkedudukan sebagai tenaga profesional. Dia memiliki tanggungjawab
yang tidak ringan juga kewajiban-kewajiban lainnya, yang harus dipegang dan
dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan kebutuhan
penting bagi setiap negara, pemerintah dan individu yang ingin maju.
Penyelenggaraan pendidikan merupakan kebutuhan sekaligus tangung jawab kita
semua, kita senantiasa membutuhkan pendidikan yang berkualitas yang ditandai
dengan kemapuan untuk berkompetensi yang sarat dengan nilai moral dan agama
dalam prespektif budaya lokal dan global, baik yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif. Kualitas pendidikan yang kita miliki merupakan cerminan
dari kometmen kita pada upaya pembenahan kualitas ilmu, moral dan intelektual,
serta kesiapan kitra untuk turut berpacu dalam mennyongsong masa depan yang lebih baik.
Seiring dengan itu pendidik harus
dibekali dengan sejumlah kompetensi dan profesionalitas termasuk juga bagaimana
menyiapkan dan mengelola pembelajaran, manajmen sampai kepada model-model
pembelajaran dan evaluasi secara komprensi
B.
Saran
Guru adalah tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembibingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, oleh karena itu guru harus mampu dan setia mengembangkan
profesinya menjadi anggota organisasi profesional pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. et al.,. Guru
Profesional: Menguasai Metode dan Terampail Mengajar. Bandung: Alfabeta,
2009.
Muhammad Surya, Percikan
Perjuangan Guru (Cet. I; Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003)
Zakiah Darajat. Metodologi Pengajaran Agama Islam.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
E. Mulyasa. Menjadi Guru
Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Cet. VIII;
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Kusnandar. Guru Profesional
Implementasi Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Serifikasi
Guru. Ed. I, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1992.
http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-ruang-lingkup-tujuan.html
[1] Muhammad
Surya, Percikan Perjuangan Guru (Cet. I; Semarang: CV. Aneka Ilmu,
2003), h. 2
[2]
E. Mulyasa, Implementasi KTSP, Kemandirian Guru dan
Kepala Sekolah, Ed. I (Cet. I; Jakarta: Bumi Karsa, 2008), h. 180.
[3]
Lihat Departemen Agama RI, Pedoman Pengawas Pendidikan
Agama Islam pada Sekolah Dasar dan Menengah (SD, SMP, SMA, dan SMK)
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Tahun 2007, h. 2.
[4]
Asrun Ni’am Sholeh. Membangun
Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen.
(Jakarta: eLSAS, 2006), Cet. Ke-1, h.3, 4323
[5]
Abudin Nata. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid.
(Jakarta: Raja Grafindo, 2001)
[6]
Zakiah Darajat. Metodologi Pengajaran Agama Islam. (Jakarta:
Bumi Aksara, 2001)
[7]
http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-ruang-lingkup-tujuan.html
[8] Zakiah
Darajat. Metodologi Pengajaran Agama Islam. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2001) , hlm 87
[9]
http://ml.scribd.com/doc/19245721/Konsep-Seorang-Guru-Menurut-Perspektif-Islam
[10]
http://ml.scribd.com/doc/19245721/Konsep-Seorang-Guru-Menurut-Perspektif-Islam
[11]
http://www.tarbiyah-iainantasari.ac.id/makalah_detail.cfm?judul=110
[12] Sudarwan
Danim dan Khairil, Profesi Kependidikan (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 6
[13]
Ibid, hlm 7
[14] Selengkapnya
lihat Ibid., h. 32-34, lihat juga dalam daftar isi Mappanganro,
Pemilikan Kompetensi Guru (Makassar: Alauddin Press, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar