BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai manusia yang berada di bumi dan berada dalam suatu Negara, maka sangatlah lazim apa bila dalam suatu Negara mempunyai/memiliki peraturan-peraturan tentang ketertiban dalam suatu Negara, karena apabila suatu Negara tidak mempunyai undang-undang/peraturan-peraturan maka Negara tersebut akan porak poranda atau tidak aman.
Karena begitu pentingnya undang-undang maka di Negara kita ini di buatlah undang-undang dasar 1945 (UUD 45) dan undang-undang Negara yang lain, yang kesemuanya itu berisikan tentang ketertiban dalam Negara sekaligus sanksi dari pasal-pasal yang dilanggarnya. Walaupun dinegara kita ini sudah ada undang-undang tapi mengapa di Negara kita masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik dari pihak masyarakat maupun pihak kepemerintahan.
Oleh karena itu kami akan mempelajari atau membahas tentang hukum-hukum Negara yang berada di Indonesia, diantaranya Hukum Dasar Tertulis (Undang – Undang Dasar), Hukum Dasar yang Tidak Tertulis (Convensi) dan penjelasannya. Doakan kami lancar dalam Presentasi….. Amin ... Amin ……. Ya Robbal ‘Alamin!!!!!!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945. banyak yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang amandemen tidak dimaksudkan untuk menganti sama sekali UUD 1945, akan tetapi merupakan suatu prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa harus langsung mengubah UUD-nya itu sendiri. Amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut (Mahfud, 1999:64). Dengan sendirinya amandemen dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan pada pasal – pasal maupun memberikan tambahan – tambahan.
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama masa orde lama dan orde baru, bahwa penerapan terhadap pasal – pasal UUD memiliki sifat “multi interpretable” atau dengan kata lain berwahyu arti, sehingga mengakabatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama kepada Presiden. Karena latar belakang politik inilah maka masa orde baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan UUD 1945 seakan-akan bersifat keramat yang tidak dapat diganggu gugat.
Suatu hal yang sangat mendasar bagi pentingnya amandemen UUD 1945 adalah tidak adanya sistem kekuasaan dengan “checks and balances” terutama terhadap kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah merupakan suatu keharusan, karena hal itu akan mengantarkan bangsa Indonesia ke arah tahapan baru melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.
Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, dimana amandemen pertama dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap 9 pasal UUD 1945. Kemudian amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga dilakukan pada tahun 2001, dan amandemen terakhir dilakukan pada tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Demikianlah bangsa Indonesia memasuki suatu babakan baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak – banyaknya pertisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik, sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
B. Hukum Dasar Tertulis (Undang – Undang Dasar)
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pengertian hukum dasar meliputi dua macam yaitu, hukum dasar tertulis (Undang – Undang Dasar) dan hukum dasar tidak tertulis (convensi). Oleh karena sifatnya yang tertulis, maka Undang – Undang Dasar itu rumusnya tertulis dan tidak mudah berubah. Secara umum menurut E C S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, Undang – Undang Dasar menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas – tugas pokok dari badan – badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok – pokok cara kerja badan – badan pemerintahan suatu negara dan mentukan pokok – pokok cara kerja badan – badan tersebut.
Jadi pada prisipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam Undang – Undang Dasar. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka Undang – Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut di bagi antara Badan Legeslatif, Eksekutif dan Badan Yudikatif.
Undang – Undang Dasar menentukan cara – cara bagaimana pusat – pusat kekuasaan ini berkerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang – Undang Dasar merekam hubungan – hubungan kekuasaan dalam suatu negara (Budiarjo, 1981 : 95.96)
Dalam penjelasan Undang – Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Undang – Undang Dasar 1945 bersifat singkat dan supel. Undang – Undang Dasar 1945 hanya memuat 37 pasal, adapun pasal – pasal lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini mengandung makna :
(1) Telah cukup jikalau Undang – Undang dasar hanya memuat aturan – aturan pokok, hanya memuat garis – garis besar instruksi kepada pemerintah pusat dan lain – lain penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan negara, untuk menyelenggarakan kehidupan hegara dan kesejahteraan sosial.
(2) Sifatnya yang supel (elastis) dimaksudkan bahwa kita senantiasa harus ingat bahwa masyarakat itu harus berkembang, dinamis, negara Indonesia akan terus tumbuh berkembang sering dengan perubahan zaman. Berhubung dengan itu janganlah terlalu tergesa – gesa memberikan kristelisasi, memberikan bentuk kepada pikiran – pikiran yang masih beruabah. Memang sifat aturan yang tertulis itu bersifat mengikat, oelh karena itu makin supel sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga agar supaya sistem dalam Undang – Undang Dasar itu jangan ketinggalan zaman.
Menurut Padmowahyono. Seluruh kegiatan negara dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
(1) Penyelenggraan kehidupan negara
(2) Penyelenggraan kesejahteraan sosial
Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut di atas maka sifat – sifat Undang – Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
(1) Oleh karena sifatnya tertulis maka rumusnya jelas, merupakan suatu hukum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.
(2) Sebagaimana tersebut dalam penjelas Undang – Undang Dasar 1945, bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan – aturan yaitu memuat aturan – aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat hak – hak asasi manusia
(3) Memuat norma - norma, aturan – aturan serta ketentuan – ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
(4) Undang – Undang Dasar 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, disamping itu sebagai alat kontrol terhadap norma – norma hukum positif yang lebih rendah dalam hiearkhi tertib hukum Indonesia.
C. Hukum Dasar yang Tidak Tertulis (Convensi)
Convensi adalah hukum Dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan – aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggara negara, meskipun sifatnya tidak tertulis. Convensi ini mempunyai sifat – sifat sebagai berikut :
(1) Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
(2) Tidak bertentangan dengan Undang – Undang Dasar dan berjalan sejajar.
(3) Diterima oleh seluruh rakyat.
(4) Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan – aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang – Undang Dasar.
Contoh – contoh convensi antara lain sebagai berikut :
a). Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Menurut pasal 37 ayat (1) dan (4) Undang – Undang Dasar 1945, segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara terbanyak. Akan tetapi sistem ini dirasa kurang jiwa kekeluargaann sebagai kepribadian bangsa, karena itu dalam praktek – praktek penyelenggaraan negara selama ini selalu disasahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sudah tidak dapat dilaksanakan. Hal yang demikian ini merupakan perwujudan dari cita – cita terkandung dalam Pokok Pikiran Persatuan dan Pokok Pikiran Kerakyatan dan Permusyawaratan Perwakilan.
b). Praktek – praktek penyelenggaraan negara yang sudah menjadi dasar tidak tertulis antara lain :
a. Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Pidato Presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Minggu pertama pada minggu bulan Januari setiap tahunnya.
Kedua hal tersebut dalam batinnya secara tidak langsung adalah merupakan realisasi dari Undang – Undang Dasaryang Merupakan Pelengkap. Namun perlu digarisbawahi bilamana convensi ingin dijadikan menjadi rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR. Dan rumusnya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan terulang dalam ketetapan MPR.
Jadi convensi bilamana dikehendaki untuk menjadi suatu aturan dasar yang tertulis. Tidak secara otomatis singkat dengan UUD, melainkan sebagai suatu ketapan MPR.
D. Kontitusi
Disamping pengertian Undang – Undang Dasar. Dipergunakan juga istilah lain yaitu “Konstitusi”. Istilah berasal dari bahasa Inggris “Constitution” atau dari bahasa Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari – hari memakai kata “Grondwet” (Grond = dasar. Wet = Undang – Undang) yang kedua – duanya menunjukkan naskah tertulis.
Namun pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai arti :
1. Lebih luas daripada Undang – Undang Dasar, atau
2. Sama dengan pengertian Undang – Undang Dasar.
Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas dari pada pengertian Undang – Undang Dasar. Karena pengertian Undang – Undang Dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja dan selai itu masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam Undang – Undang.
Dalam praktek ketatanegaraan Negara Republik Indonesia Pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian Undang – Undang Dasar.
BABA III
KESIMPULAN
Dilihat dari pembahasan tentang hukum-hukum kenegaraan diatas, kami menyimpulkan bahwa hukum di Negara kita ini banyak sekali diantaranya Hukum-Hukum Dasar Tertulis yang disebut pula dengan (Undang – Undang Dasar) dan Hukum-Hukum Dasar yang tidak Tertulis yang disebut pula dengan Convensi dan masih banyak lagi lainnya misalnya hukum perdata, hukum, hukum pidana, hukum tata negara dan lain-lain.
Jadi pada prisipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam Undang – Undang Dasar. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka Undang – Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut di bagi antara Badan Legeslatif, Eksekutif dan Badan Yudikatif.
Dan perlu digarisbawahi bilamana convensi ingin dijadikan menjadi rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR. Dan rumusnya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan terulang dalam ketetapan MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani Ruslan, 1998, Pancasila dan Reformasi. Makalah Seminar nasional KAGAMA. Juni 1998 di Yogyakarta.
Bambang Sumadio, dalam Sartono Kartirdjo, 1977, Sejarah Nasional Indonesia III dan IV. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . Jakarta.
Baut Paul. S. & Beny Hartaman, 1988, Komplikasi Deklarasi Hak – hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta
Darmodiharjo darji, dkk.. 179. Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya.
Dipoyudo Kirdi, 1984, Pancasila arti dan Pelaksanaannya, CSIS, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar