BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 pasal 38 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan karena ada tiga faktor
yaitu, karena kematian, karena perceraian dan karena putusan pengadilan.
Di Indonesia, Ta’lik Talak
sudah ada sejak dahulu, hal ini dibuktikan bahwa hampir seluruh perkawinan di
Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan shigat
Ta’lik oleh suami. Walaupun shigat-nya harus dengan suka rela, namun di
negara kita menjadi seolah-olah sudah kewajiban yang harus dilakukan oleh suami.
Shigat Ta’lik dirumuskan sedemikian rupa dengan maksud agar sang isteri
memperoleh perlakuan yang tidak sewenang-wenang oleh suaminya, sehingga
akibatnya jika isteri diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dan dengan
keadaan itu, isteri tidak ridha, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian
kepada Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak tadi.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasab dalam makalah kami mudah difahami, maka kami akan
merumuskan pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
1.
Bagaimana eksistensi Ta’lik Talak itu?
2.
Bagaimana rumusan Ta’lik Talak itu?
3.
Apa saja permasalahan di sekitar Ta’lik Talak?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari
pembahasan makalah kami ini adalah
1. Untuk
menjelaskan eksistensi Ta’lik Talak.
2. Ingin
menjelaskan tentang rumusan Ta’lik Talak.
3. Untuk
menjelaskan permasalahan di sekitar Ta’lik Talak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Eksistensi Ta’lik Talak
Pembahasan tentang Ta’lik Talak
sebagai alasan perceraian, nampaknya telah dibicarakan oleh para fuqaha
dalam berbagai kitab fiqh, dan ternyata mereka berbeda pendapat tentang
hal itu. Perbedaan tersebut hingga sekarang masih mewarnai perkembangan hukum
Islam. Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat, yakni ada yang
membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka yang membolehkan secara mutlak yakni bahwa mereka
memperbolehkan semua bentuk shigat Ta’lik, baik yang berbentuk syarthi
maupun qasamy. Sedangkan yang hanya membolehkan ialah shigat
Ta’lik yang bersifat syarthi yang sesuai dengan maksud dan tujuan hukum syara’.[1]
Secara yuridis mengenai alasan
perceraian, sebagaimana dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan
dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, keduanya tidak menyinggung mengenai Ta’lik
Talak sebagai alasan perceraian, hal ini dimaksudkan kedua pasal itu sudah
cukup memadai. Sesuai dengan jiwa Undang-Undang itu, yang antara lain menganut
asas mempersukar terjadinya perceraian sehingga tidak perlu lagi ditambah atau
diperluas.
Dalam hubungan ini, M. Yahya
Harahap, SH., menyatakan bahwa UU Perkawinan tidak menutup perceraian dan pada
saat yang bersamaan juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. oleh
karena itu, apa yang telah diatur dalam aturan-aturan perundangan dianggap
cukup memadai untuk mensejajari kebutuhan masyarakat. apalagi jika dilihat dari
keluwesan pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 yang dikaitkan dengan perluasan alasan
melalaikan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam pasal 34 ayat (3) UU
Perkawinan. Alasan perceraian yang kita miliki lebih dari cukup dan tidak perlu
lagi ditambah.[2]
Bila dilihat dari segi
peraturan perundangan, maka jelas bahwa dalam alasan perceraian yang berlaku di
Indonesia tidak disebut-sebut Ta’lik Talak, demikian halnya jika Ta’lik Talak
dikategorikan sebagai perjanjian perkawinan karena ditetapkan ditetapkan secara
serta merta pada saat berlangsungnya perkawinan, maka secara tegas UU
Perkawinan dalam penjelasan pasal 29 dinyatakan bahwa dalam hal ini tidak
termasuk Ta’lik Talak[3]
yang memberi pengertian bahwa UUP tidak mengenal lembaga Ta’lik Talak.
Dari kondisi obyektif perundangan
tersebut di atas, jika diuraikan dengan fakta yang ada bahwa nampaknya tidak
sedikit perkara cerai gugat dengan alasan Ta’lik Talak yang masuk di Pengadilan
Agama setiap tahunnya, maka apakah yang demikian dapat dikatakan bahwa
Pengadilan Agama telah membenarkan alasan perceraian di luar Undang-Undang?
Untuk menjawab hal ini, berikut perlu dikemukakan beberapa hal,[4]
yaitu:
1.
Ta’lik Talak
dilihat dari esensinya sebagai perjanjian yang menggantungkan kepada syarat
dengan tujuan utama melindungi isteri dari kemudharatan atas kesewenangan
suami.
2.
Ta’lik Talak
sebagai alasan perceraian telah melembaga dalam hukum Islam sejak lama, sejak
zaman sahabat. Sebahagian besar ulama sepakat tentang sahnya.
3.
Substansi shigat
Ta’lik Talak yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dipandang telah cukup memadai
dipandang dari asas hukum Islam ataupun jiwa UUP.
4.
Di Indonesia,
lembaga Ta’lik Talak secara yuridis formal telah berlaku sejak zaman Belanda,
berdasarkan Staatblad 1882 No. 152 sampai setelah merdeka. Dan pada saat
sekarang, dengan diberlakukannya KHI melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 yang
antara lain mengatur tentang Ta’lik Talak, maka Ta’lik Talak dapat
dikategorikan sebagai hukum tertulis.
Dari keempat hal tersebut,
kiranya dapat memberi landasan hukum Ta’lik Talak tetap berlaku di lingkungan
Pengadilan Agama, di mana Ta’lik Talak secara substansial dalam KHI dapat
dilihat dari dua segi, yakni sebagai perjanjian perkawinan dan sebagai alasan
perceraian.
Dan dari dua segi itu, bila
dilihat dari sistematika penyusunan KHI, nampaknya KHI lebih menitikberatkan
pada esensinya sebagai perjanjian perkawinan. Hal ini nampak pada pemuatannya
pada pasal 45 dan 46 diatur lebih rinci dari pada pemuatannya dalam Bab XVI
tentang putusnya perkawinan pasal 116.
B. Tentang Rumusan Ta’lik Talak
Sebagaimana telah disinggung
terdahulu, bahwa para ahli hukum berbeda dalam membahas mengenai Ta’lik Talak.
Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara merekapun muncul,
yang pada dasarnya terletak pada rumusan shigat Ta’lik Talak yang bersangkutan
yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm
berpendapat bahwa dari dua macam bentuk Ta’lik Talak (Qasamy dan Syarthi),
keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah
mengatur secara jelas mengenai talak. Sedangkan Ta’lik Talak tidak ada
tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah.[5]
Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Ta’lik Qasamy yang
mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya Talak.
Sementara itu, jumhur ulama
Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang telah menta’likkan talaknya yang dalam
wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka
masing-masing, maka Ta’lik itu dianggap sah untuk semua bentuk Ta’lik, baik itu
mengandung sumpah (qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang
yang menta’likkan Talak itu tidak menjatuhkan Talaknya pada saat orang itu mengucapkannya,
akan tetapi Talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung dalam
ucapan Ta’lik itu.[6]
Pendapat jumhur inilah
nampaknya yang menjadi anutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan
pada masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan
maksud agar bentuk sighat Ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh
suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak Talak yang diberikan
secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan
kesewenangan suami.
Bila dicermati rumusan Ta’lik
Talak, nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud tidak
terletak pada unsur-unsur pokoknya,[7]
tetapi mengenai kualitasnya yaitu syarat Ta’lik yang bersangkutan serta mengenai
besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas
syarat Ta’lik di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (1940) maupun pasca
kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan 1975) yang ditentukan Departemen Agama
semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni
mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari
kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut
dapat dikemukakan misalnya pada rumusan ayat (3) sighat Ta’lik, pada
rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri dengan memukul”, sehingga semua
pengertian dibatasi pada memukul saja, sedangkan sighat rumusan tahun
1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga perbuatan yang dapat dikategorikan
menyakiti badan dan jasmani seperti: menendang, mendorong sampai jatuh dan
sebagainya dapat dijadikan alasan perceraian, karena terpenuhi syarat Ta’lik
dari segi perlindungan pada isteri.
Demikian halnya perubahan
kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar terjadinya perceraian) dapat
dilihat pada rumusan ayat (4) sighat Ta’lik tentang membiarkan isteri.
Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan, sedang rumusan tahun 1956
menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang pergi meninggalkan isteri dalam
ayat (1) sighat Ta’lik, dalam rumusan tahun 1950, 1956 dan 1969 sampai
sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-turut.[8]
Oleh karena itu sighat
Ta’lik yang ditetapkan dalam PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang
dimaksudkan dalam pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan
dengan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk Ta’lik Talak di luar
yang ditetapkan oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
C. Beberapa Permasalahan di Sekitar Ta’lik Talak
1.
Kekuatan Berlakunya
Ta’lik Talak
Ta’lik Talak dalam berbagai
kitab fiqh dibahas demikian mendetail, termasuk tentang kekuatan
berlakunya Ta’lik Talak yang telah diucapkan suami. Salah satu hal yang
mempengaruhi kekuatan berlakunya Ta’lik Talak adalah lafaz yang digunakan dalam
sighat Ta’lik.
Menurut kitab Qawanin
al-Syar’iyah, jika Ta’lik Talak itu menggunakan kata ان (jika) atau اذا
(apabila) atau متي(manakala) dan semacamnya, maka sighat
Ta’lik itu berlaku sekaligus, artinya jika telah terjadi perceraian, baik
karena Talak Raj’i maupun lainnya, maka kekuatan Ta’lik Talak yang
diucapkan suami gugur adanya.[9]
Lain halnya jika menggunakan
kata كلما (sewaktu-waktu), dan ini yang dipakai dalam Permenag. No. 2 Tahun
1990, artinya jika sebelum terwujud syarat Ta’lik kemudian suami menjatuhkan
Talak Raj’i dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka
Ta’lik Talak yang diucapkan suami tetap mempunyai kekuatan hukum, sehingga
sewaktu-waktu terwujud syarat Ta’lik, maka isteri dapat menggunakan sebagai
alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran Ta’lik Talak.[10]
Namun bila terjadi Talak Ba’in
atau kawin lagi, setelah lepasnya Talak Raj’i, Ta’lik Talak yang
diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, sehingga jika suami isteri
itu menghendaki berlakunya perjanjian Ta’lik Talak, maka harus diulang.[11]
2.
Bila Suami atau
Isteri Tidak Mengetahui Isi Sighat Ta’lik Talak
Jika suami tidak mengetahui isi
atau maksud sighat Ta’lik Talak yang diucapkannya, maka hal itu harus
dianggap tidak ada. Itulah sebabnya sehingga dalam surat nikah pada masa
sebelum kemerdekaan sampai dengan tahun 1950, selalu ada catatan-catatan untuk
mereka yang kurang paham dengan bahasa Indonesia, oleh PPN harus menjelaskannya
dalam bahasa daerah yang dipahami oleh para pihak sampai mereka paham, dan
disuruhnya mengucapkan Ta’lik itu dalam bahasa daerah yang dipahami. Namun pada
tahun 1950 tidak ada lagi catatan demikian, sehingga ada kemungkinan jika
PPN tidak menjelaskan isi sighat Ta’lik, suami atau isteri tidak
dapat mengetahuinya. Jika terjadi kondisi demikian, maka perjanjian itu
dianggap tidak ada dan batal demi hukum. Hal ini merujuk kepada Qaidah
Fiqhiyyah yang menyatakan bahwa yang dianggap ada dalam perjanjian
adalah maksud pengertiannya, bukan berdasarkan ucapan dan bentuk kata-katanya.[12]
3.
Mengucapkan Sighat
Ta’lik Talak Karena Terpaksa
Sebagaimana diketahui bahwa
keberadaan Ta’lik Talak harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak,
karena perbuatan itu merupakan perbuatan hukum yang akan berakibat hukum pula.
Jika suami mengucapkan Ta’lik
Talak karena dipaksa atau ada pemaksaan, maka Talak suami tidak jatuh, karena
hal demikian berarti bukan kehendak bebas yang berarti pula bahwa taklif
(pembebanan) harus dianggap tidak ada pula.
Dalam keadaan seperti itu, maka
para ulama sepakat bahwa jika suami berakal, baligh dan berkehendak
bebas, maka Talaknya dipandang sah dan sebaliknya jika terjadi hal itu
dipandang sebagai perbuatan sia-sia.[13]
Dalam hubungan ini Nabi bersabda: “Umatku dibebaskan karena keliru, lupa dan
mereka yang dipaksa”.[14]
Dalam praktek, jika terjadi hal
demikian (Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan), maka hakim harus menolak
gugatan isteri, karena tidak memenuhi syarat Ta’lik, atau tidak terjadi
pelanggaran sighat Ta’lik. Pendapat inilah yang populer hingga sekarang.
Satu-satunya pendapat yang
menganggap sah atas Ta’lik Talak yang mengandung unsur paksaan adalah Imam Abu
Hanifah, walaupun pendapat ini menyalahi pendapat jumhur.[15]
4.
D. Tidak
Menandatangani Sighat Ta’lik
Secara yuridis dalam Permenag.
No. 2 Tahun 1990 dkatakan bahwa untuk sahnya perjanjian Ta’lik Talak, maka
suami harus menandatangani sighat Ta’lik yang diucapkannya sesudah akad nikah.
Dari pernyataan ini dipahami bahwa antara pengucapan dan penandatanganan
perjanjian Ta’lik Talak, keduanya bersifat kumulatif.
Dari keadaan demikian, bila
dikaitkan dengan keadaan riil di lapangan masih sering terjadi, bahwa suami
tidak menandatangani kutipan akta nikah, sekalipun dalam akta nikah dijelaskan
bahwa suami mengucapkan Ta’lik Talak, kenyataan ini menunjukkan bahwa salah
satu dari kedua syarat sahnya perjanjian Ta’lik Talak tidak terpenuhi, sehingga
akibatnya perjanjian Ta’lik Talak tadi harus dianggap tidak sah atau batal.
Di pandang dari sudut kekuatan
pembuktian, bahwa dalam kutipan akta nikah itu jelas bahwa suami mengucapkan sighat
Ta’lik, maka hakim harus terikat terhadap apa yang tertera dalam kutipan akta
nikah itu, karena pada dasarnya itu yang merupakan kekuatan pembuktian yang
sempurna.[16]
Akan tetapi jika dilihat dari
substansinya, maka Ta’lik Talak merupakan perjanjian suami isteri yang bersifat
sukarela, yang ada atau tidak hanya ditentukan oleh para pihak (suami isteri)
dengan tujuan memberikan keadilan bagi masing-masing pihak. Karena itu dalam
kasus demikian, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk menilai bahwa
penandatanganan tadi tak ubahnya sebagai suatu tindakan yang sifatnya lebih menunjukkan
pada tindakan administratif.
Dari kondisi seperti itu, maka
jalan keluar yang dapat dipakai adalah jika suami hadir dalam persidangan, maka
hakim dapat menunjukkan langsung padanya, dan jika suami mengaku, maka ia
dipandang sah dan bila menyangkal, maka hakim harus memeriksa ada tidaknya
perjanjian Ta’lik Talak sesuai dengan hukum yang berlaku. Sementara itu bila
suami tidak hadir, maka isteri harus membuktikan bahwa suami mengucapkan sighat
Ta’lik Talak. Dalam hal ini hakim tidak cukup memakai bukti keterangan
kutipan akta nikah, tetapi harus dikuatkan oleh bukti lain seperti keterangan
dari PPN di mana pernikahan itu dilangsungkan atau dengan keterangan
saksi-saksi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian yang lalu, berikut dapat dirumuskan kesimpulan-kesimpulan yang
sederhana:
1.
Mengenai Ta’lik
Talak, terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha, di antaranya ada
yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
2.
Di Indonesia
nampaknya, Ta’lik Talak telah ada sejak zaman Belanda, dan telah mengalami banyak
perubahan bahkan pada masa kemerdekaan sampai sekarang, rumusannya pun telah
ditetapkan oleh Departemen Agama dengan maksud untuk melindungi isteri dari
perlakuan sewenang-wenang dari suami.
3.
Dalam tata cara
penyelesaian administrasi perkawinan Indonesia, pembuktian tentang Ta’lik Talak
menjadi bahagian yang amat penting demi memenuhi tuntutan perundang-undangan
yang berlaku bagi warga negara, terutama yang beragama Islam, hal ini penting
karena merupakan salah satu pembuktian di pengadilan, jika terjadi kasus cerai
gugat. Wallahu A’lam Bi al-Shawab.
B.
Kritik dan Saran
Walaupun dalam pelaksanaan
hukum perkawinan di Indonesia, khususnya tentang sighat Ta’lik Talak,
telah mendapatkan rumusan yang baku dari Departemen Agama sebagaimana adanya
sekarang ini, namun nampaknya rumusan itu tidaklah bersifat final untuk
selamanya. Hal ini dibuktikan bahwa Ta’lik Talak itu sendiri dalam pembahasan
para fuqaha, terjadi ikhtilaf, ada yang membolehkan, ada pula
yang tidak. Yang tidak membolehkan beralasan bahwa kalau hanya dengan alasan
perlindungan isteri dari kesewenangan suami, masih ada jalan lain yang
dibenarkan oleh syari’at Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka.
1981. Tafsir Al-Azhar, Panji
Masyarakat. Jakarta: t.p
Manan,
Abdul. 1995. Masalah Ta’lik Talak Dalam
Hukum Perkawinan Di Indonesia
dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI. Jakarta: Al-Hikmah.
Mertokusumo,
Soedikno. 1976. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jakarta: Liberty,
Sabiq,
Sayyid. 1980. Fiqh al-Sunnah, Jilid II. Beirut: Dar al-Fikr,
Al-Suyuthiy.
Jami’ al-Saghir, Juz I. t.tp: t.p., t.th.
Syalthout,
Mahmoud. Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Uthman,
Sayyid. Qawanin al-Syar’iyah. Surabaya: Salin Nabhan, t. th.
[1] Lihat Mahmoud Syalthout, Perbandingan Mazhab dan Masalah
Fiqh, dialih bahasakan oleh Drs. H. Ismuha. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
h. 218-233.
[2]
Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 71-72.
[3]
Lihat Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar”, Panji
Masyarakat (Jakarta: t.p., 1981), h. 71.
[4]
Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 72-73.
[5]
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut:
Dar al-Fikr, 1980), h. 123.
[6]
Lihat Mahmoud Syalthout, op. cit., h. 237.
[7] Unsur
pokok Ta’lik Talak: 1. Suami meninggalkan isteri, 2. Suami tidak memberi
nafkah, 3. Suami menyakiti isteri, 4. Suami membiarkan isteri, 5. Isteri tidak ridha,
6. Isteri mengadu, 7. Pengaduan diterima, 8. Isteri membayar iwadh, 9.
Jatuh Talak suami satu, 10. Uang iwadh dikuasakan kepada Pengadilan.
[8]
Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 76.
[9]
Lihat Sayyid Uthman, Qawanin al-Syar’iyah (Surabaya:
Salin Nabhan, t. th.), h. 80.
[10]
Lihat ibid
[11]
Lihat ibid
[12]
Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 87.
[13]
Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
[14]
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
Daruquthniy, Hakim dan Thabrani yang di-hasan-kan oleh Imam Nawawi.
Selengkapnya lihat Al-Sunnah-Suyuthiy, Jami’ al-Saghir, Juz I (t.tp:
t.p., t.th.), h. 600.
[15]
Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., h. 211.
[16]
Lihat Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia
(Jakarta: Liberty, 1976), 105-116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar